Part 9 - Memories

11.4K 1K 15
                                    

Zegna's Mansion - 8.25 am

Gene sudah merapikan dan mempersiapkan diri. Sesuai dengan instruksi dari 'Yang-Mulia-Vincent', ia harus siap sebelum pukul 8.30 pagi. Maria pun sudah masuk ke ruangan itu sejak pukul tujuh pagi untuk membantu Gene dalam segala hal. Untung saja ada wanita paruh baya itu. Jika tidak, untuk membuka pakaian pun, akan memakan waktu yang sangat lama bagi Gene.

"Anda sudah siap, Nona." ujar Maria.

Gene menatap cermin yang ada dihadapannya. Luka dan lebam itu belum juga mereda. Walaupun sudah dibasuh dengan air, tidak membuat wajahnya menjadi lebih baik. Tak lama kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Travis berjalan masuk dengan setelan jas yang sudah melekat di tubuhnya.

"Kita pergi sekarang." ujar Travis.

Gene tidak banyak bertanya. Ia hanya diam dan mengikuti instruksi dari Travis. Gene berjalan mengekori pria tinggi itu. Gadis itu terlihat susah payah untuk mengejar langkah Travis yang besar. Pria itu memiliki kaki yang jenjang, sedangkan saat ini, Gene harus memakai tongkat kruk untuk membantunya berjalan.

"Bisa lebih cepat? Waktuku terbatas." ujar Travis sambil melirik ke belakang.

"Apa kau buta?" ujar Gene sambil menujuk ke arah gips di kaki kanannya.

Travis menghela nafas panjang. Begitu juga dengan Gene. Semua orang di tempat ini tampaknya begitu menyebalkan. Gene ingin segera menyelesaikan 'hukuman'-nya dan segera pergi dari mansion besar ini. Tibalah keduanya di depan salah satu pintu yang terletak di ujung ruangan. Travis membuka pintu berwarna coklat tua itu, lalu mempersilahkan Gene untuk masuk terlebih dahulu.

"Perkenalkan, ini Jaxon Hayes. Dia akan menjadi rekanmu dan sekaligus mengawasimu." ujar Travis.

Muncul seorang pria berambut pirang dari belakang layar monitor. Pria itu tampak berumur awal dua puluhan. Bisa dibilang sangat muda. Memakai kaos putih, celana jeans, Nike Air Jordan 1 Retro High OG, serta sebuah gaming headphone. Tampaknya pria itu seorang gamers.

"Hai! Namaku Jaxon Hayes. Kau bisa memanggilku Jax." ujar pria itu dengan senyum lebar.

"Oh, halo, Jax. Aku Geneviève. Kau bisa memanggilku Gene." ujar Gene.

"Mari, akan kutunjukkan tempatmu." ujar Jax.

Jax berbeda dengan Vincent, maupun Travis. Anak muda itu tampak sangat ceria dan terlihat menyenangkan. Setidaknya, ada hal baik yang akan menemaninya selama ia terjebak di tempat ini.

Jax menunjukkan sebuah meja besar yang dilengkapi dengan empat layar monitor besar. Pria itu menarik kursinya dan membantu Gene untuk duduk di singgasananya. Gene cukup takjub dengan apa yang ada dihadapannya. Semua teknologi terbaru dan termutakhir ada di depan wajahnya. Untuk seorang peretas, perangkat ini adalah sebuah impian.

"Ini adalah perangkatmu. Kau bisa menggunakannya semaumu." ujar Jax.

"Benarkah?" ujar Gene dengan mata berbinar.

Jax mengangguk dengan sangat yakin. Pria itu juga menunjukkan beberapa perangkat lain yang bisa digunakan oleh Gene nantinya.

"Apa kau anak buah Vincent Zegna juga? Kau tampak sangat muda untuk menjadi anak buahnya." ujar Gene.

"Kurasa lebih dari itu. Bisa dibilang, Vince dan Travis sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri." ujar Jax dengan bangga.

"Kakakmu? Apa kau tidak terganggu dengan mereka? Maksudku...mereka kan..." ujar Gene.

Jax menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tampaknya pria muda itu tidak setuju dengan pemikiran Gene.

"Tidak...tidak. Mereka tidak seperti yang kau bayangkan. Terutama Vince. Jika saja aku tidak bertemu dengannya, mungkin sekarang aku sudah mati." ujar Jax mendramatisir.

Heaven on EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang