Gene tampak tengah menyibukkan dirinya di dalam kamar hotel itu. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh gadis itu di sana. Gene merasa seperti burung dalam sangkar. Terkekang dan terkurung. Namun, Gene tidak ingin memberontak. Bukan karena alasan takut, namun gadis itu sudah tidak memiliki energi lagi untuk itu. Lebih baik, ia mencari caranya sendiri untuk tetap waras.
Gene terlihat sedang membuat detonator yang nantinya akan digunakan untuk mengatur peledak-peledak ciptaan Antoine dari jarak jauh. Walaupun ini bukan keahliannya, namun Gene berusaha untuk membuatnya. Entahlah, mungkin hanya untuk menghabiskan waktunya saja. Tak lama kemudian, Jax mengetuk pintu kamar Gene.
"Apa yang sedang kau lakukan, Gene?" ujar Jax. "Kau terlihat sangat sibuk."
"Berpura-pura menyibukkan diri lebih tepatnya." ujar Gene.
Jax melangkah masuk ke dalam kamar Gene dan duduk dihadapan gadis itu. Pria itu memperhatikan gerak-gerik Gene satu per satu. Jax menerka-nerka apa yang sedang dirakit oleh Gene. Pria itu pun akhirnya menoleh ke arah lembaran cetak biru yang tergeletak di atas meja.
"Aku tidak tahu kau bisa merakit alat-alat seperti ini." ujar Jax.
"Hmmm...sesungguhnya aku hanya mengikuti lembar cetak biru milik Antoine ini." ujar Gene. "Untung saja pria itu membuat hal seperti ini."
Jax menatap Gene dengan intens. Gadis itu terlihat sangat kacau. Rambutnya tampak berantakan dan entah sudah berapa lama gadis itu tidak mengganti pakaian yang dikenakannya. Kedua mata Gene pun terlihat merah, mungkin karena gadis itu tidak berhenti menangis.
"Apa kau baik-baik saja, Gene?" ujar Jax.
"Ya, tentu. Aku dalam kondisi baik, Jax." ujar Gene sambil tersenyum.
Jax menyadari jika senyum di bibir Gene hanyalah sebuah senyum palsu yang dibuat-buat. Di hari kematian Antoine, Jax melihat Gene tertidur di bawah pancuran air dalam kondisi masih berpakaian. Setelah hampir satu jam gadis itu masuk ke dalam kamar mandi, Jax pun akhirnya terpaksa masuk ke dalam ruangan itu untuk melihat kondisi Gene. Tempo hari, Jax memergoki Gene tengah berbaring atas lantai karpet sambil memeluk kedua lututnya. Pria itu bahkan mendengar Gene menangis sesenggukkan.
Jax tahu gadis yang ada dihadapannya itu sedang tidak baik-baik saja. Walaupun, dapat dikatakan Gene adalah seorang tahanan Vincent, namun bagi Jax, gadis itu sudah menjadi teman baiknya. Apalagi setelah menghabiskan kebersamaan dalam waktu yang cukup lama. Jax merasa Gene adalah gadis yang sangat baik dan perhatian.
Jax menoleh ke arah meja nakas yang berada di sebelah ranjang. Di sana terdapat sebuah nampan yang berisi sepiring pasta, semangkuk sup, dan buah-buahan yang masih dalam kondisi utuh. Tampaknya gadis itu belum menyentuh makanan itu sama sekali.
"Kau belum menyantap makan siangmu." ujar Jax.
Gene menoleh ke arah Jax lalu gadis itu menoleh ke nampan makanan itu berada. Gadis itu kembali tersenyum tipis ke arah Jax.
"Ah, iya. Tampaknya aku melewatkan makan siangku." ujar Gene.
"Kau tahu, kau dapat menceritakan semua yang kau rasakan kepadaku, Gene." ujar Jax.
Gene meletakkan perkakas yang sedang dipegangnya di atas meja. Senyum di wajah gadis itu seketika lenyap dan berubah menjadi masam. Gene tampak mengeraskan rahangnya dan hanya menatap lantai karpet.
Gadis itu terbiasa untuk menyimpan apa yang dirasakan dan dipikirkannya sendiri. Bahkan, Gene tidak pernah menceritakan hal-hal sensitif kepada shabat-sahabatnya, terutama Lou.
"Jax, aku baik-baik saja. Sungguh." ujar Gene.
Gene menatap Jax dengan lekat lalu gadis itu menyunggingkan senyum tipisnya di bibir yang merah itu. Gene berusaha tegar di situasi seperti ini, agar dirinya tetap dapat berpikir dengan jernih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven on Earth
ActionGene & Vincent (Series) - #Seri 1 Geneviève Lorraine Ross Gadis tomboy yang juga merupakan seorang peretas handal, bersedia melakukan apapun untuk Noah, adik lelakinya tersayang dan juga teman-temannya agar mereka tetap selamat. Namun, ia harus berh...