Hingga jam sudah menunjuk pukul sembilan malam, Raynold tak kunjung pulang kerumah. Ia masih berada di tempat kecelakaan bis yang di asumsinya Aleona ikut korban di sana.
Sayangnya, ia belum juga menemukan setitik petunjuk tentang putrinya itu. Ia seperti orang yang dicampakkan dan berputus asa. Sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan untuk menangisi keadaan yang belum pasti.
Sebentar ia menyesal tak pernah mencintai anak kecil itu. Ia selalu membenci walau bukan kesalahannya.
Raynod beranjak dari duduknya, ia meninggalkan hutan yang gelap. Ia berniat kembali ke rumah. Namun, jika ia pulang maka kenangan jahat yang ia torehkan akan semakin membuatnya benci pada dirinya sendiri.
Rumah megah itu adalah saksi kejahatannya terhadap sang Putri. Bagaimana ia bersikap, berucap, menatap, dan mengacuhkan anak kecil itu.
Karena itu, ia memilih singgah di sebuah taman tidak jauh dari rumahnya. Ia berniat untuk merenung dan menenangkan pikiran. Ia berharap semua ini adalah mimpi.
Mimpi!
Sambil menangis, pria itu menatap sendu foto yang ada di ponselnya. Itu adalah foto Aleona yang anak itu sendiri kirim kepada Raynold.
Raynold ingat kenapa Aleona mengirimnya dengan pose layaknya orang dewasa. Karena Raynold pernah berkata bahwa ia tidak suka dengan sikap Aleona yang kekanak-kanakan dan juga selalu mengajak foto bersama. Lantas itu adalah alasan Aleona foto sendiri dan mengirimnya pada Raynold.
'Yah, sayang sekali aku hanya foto sendiri. Foto ini akan semakin indah jika Ayah ada di dalamnya.' pesan Aleona kala itu yang ia kirimkan bersama dengan foto tersebut.
Bahu Raynold semakin bergetar tatkala hatinya semakin sesak dan begitu sakit. Membayangkan Aleona mengemis perhatian membuatnya jijik terhadap diri sendiri. Ia memang tidak lebih dari menjijikkan, bahkan sangat menjijikkan.
Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sampai besok Aleona tidak di temukan. Bisa saja ia akan bunuh diri. Tidak ada alasan untuk bertahan hidup lagi, selama ini ia bisa bertahan, itu karena Aleona walau sikap dingin yang selalu ia tunjukkan tetapi di hati kecilnya ia sangat menyayangi Aleona. Ia hanya melampiaskan amarahnya ketika melihat Aleona. Aleona mengingatkannya kepada wanita yang melahirkan anak itu.
Malam semakin larut. Raynold memutuskan untuk pulang. Supaya ia bisa mencari Aleona besok.
Sesampainya di rumah ia segera masuk. Pertama, ia mendapati rumah yang gelap gulita dan juga sepi. Kedua, ia juga mendapati kamar Aleona yang gelap tanpa setitik cahaya. Raynold meraba dinding untuk menyalakan lampu. Air matanya tidak dapat ia bendung tatkala rasa sakit itu kembali menggerogoti.
Ia terisak kecil dengan badan bergetar. Ia ingin mati saja, jika ia tahu bahwa Aleona pergi seperti ini ia akan menyayangi anak itu layaknya anak dengan ayah.
Dengan pikiran kosong Raynold melangkah menuju kamar Aleona. Gelap gulita juga menyambut dirinya. Kembali, tangan kekar itu meraba dinding disebelah pintu untuk menyalakan lampu. Saat lampunya hidup, Raynold bisa melihat kamar gadis itu yang dipenuhi dengan gambar di dinding. Berbagai bentuk gambaran ada di sana, gambaran bentuk perasaan gadis itu selama ini.
Banyak benda di sana yang membuat Raynold semakin benci kepada dirinya sendiri. Aleona menderita selama ini. Tanpa ia pikirkan bagaiman perasaan anak sekecil itu mengahadapi kenyataan.
Raynold tidak sanggup berlama-lama di kamar sang Putri dan memutuskan untuk ke kamarnya saja lalu tidur dan bermimpi bertemu putri kecilnya itu.
Pun, kamarnya gelap gulita. Itu menunjukkan bahwa kehidupannya adalah hitam. Ia sendiri yang membuat hitam melingkari kehidupannya. Dengan rasa kesal bercampur marah ia menekan sakelar lampu dengan kuat juga dengan suara erangan akan kekesalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Dad!
General FictionGadis kecil yang menginginkan kasih sayang dari ayahnya, mengharapkan cinta dari sang ayah. Ia terlahir sebagai anak perempuan cantik dengan senyumannya yang manis. Namun, ia di takdirkan sebagai anak broken home yang menjadi korban dari suatu perm...