01. Tiup Lilin

21.4K 1.4K 93
                                    

Dukung cerita ini terus yuk, sampe tamat hehe
Kasih semangat kalian dong, dgn vote + komen nyaa 🫂💟

Happy readingg all 🦋

–oOo–

Ponsel Raynold terus berdering dan menampilkan nama si penelepon 'Aleona'. Gadis kecil itu sudah hampir lima puluh kali menghubungi Raynold tetapi tidak pernah diangkat oleh pria itu. Raynold mengacuhkannya dan tidak ingin terganggu hanya karena telepon yang menurutnya tidak berguna. Biarkan saja seperti itu hingga Aleona lelah untuk menelepon, pikir Raynold.

Drrttt...

Ponsel mewah itu terus bergetar hingga bergeser dari tempat semula. Raynold melirik kesal lalu dengan kasar meraih benda pipih tersebut dan segera mendail icon hijau. Raynold menempelkannya ditelinga kanan dan tanpa basa-basi langsung menjawab dengan nada ketus, "ada apa?"

"Ayah-"

"Apa kau tidak sadar bahwa tingkahmu ini mengganggu waktu kerjaku? Apa kau sekali saja tidak bisa untuk tidak menggangguku?" Raynold menyela. Pria itu menggeleng tak habis pikir dengan sikap putrinya yang setiap hari kurang kerjaan dengan menelepon dan menanyai kabar.

Dari seberang sana, Aleona menjawab, "Ayah, jemput aku! Aku sudah pulang sekolah, disini sepi, Ayah..."

"Kau 'kan, bisa jalan kaki pulang kerumah seperti biasa. Tidak perlu manja!"

Di seberang sana gadis kecil itu menitikkan air matanya. Bibirnya yang mungil perlahan mengerucut dan bergetar. Aleona menangis, ia mencoba menahan isakan tidak keluar dari mulutnya.

"Tapi Ayah-"

"Sudah lah, aku sibuk!"

Tut!

Raynold memutuskan panggilan sepihak. Tanpa menaruh iba maupun khawatir kepada sang anak yang pulang sendirian dari sekolah menuju rumah. Anak sekecil Aleona dibiarkan pulang sendirian? Apa Raynold serius dengan itu? Apa pria itu tidak punya hati nurani lagi?

Disaat Raynold mematikan ponselnya, Aleona kembali menangis layaknya anak yang hilang dari sang ibu. Aleona tidak lebih seperti itu. Gadis kecil yang malang itu menyusuri trotoar dengan derai air mata di pipinya.

Aleona takut jika naik kendaraan umum atau meminta tolong kepada orang lain malah membuatnya celaka. Lagipula ia terlalu kecil untuk memahami itu semua.

* * *

Api bertahta diatas lilin merah yang membentuk angka enam yang berdiri tegak ditengah-tengah kue tart bulat rasa cokelat. Di depan kue tersebut duduk seorang gadis kecil lengkap dengan gaun biru melekat apik pada tubuhnya. Ia sedang menunggu seseorang agar ia lekas meniup lilinnya yang mulai liar melahap lilin.

Aleona bergerak gusar tatkala jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, ia bahkan sudah mengganti lilinnya dua kali yang habis dilalap api sebelum di tiup.

Raynold tak juga menampilkan batang hidungnya. Pintu besar tersebut yang menjadi pintu utama masih saja tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda akan ada yang datang.

Aleona optimis, ia percaya bahwa sang ayah akan segera pulang dengan membawa kado untuknya. Kado ulang tahun untuk umurnya yang ke-6 tahun.

Namun, hingga jam dua belas malam, Raynold belum juga pulang. Gadis kecil sampai-sampai tertidur di sofa setelah lilinnya ia tiup.

Ayahnya tidak peduli!

Ditengah kesunyian, derit pintu berhasil mengusik Aleona dari tidurnya. Gadis kecil itu mengucek matanya yang masih mengantuk, menyamakan cahaya yang menyilaukan. Seketika kesadarannya pulih dan bangun tergesa-gesa menghampiri pria yang ia tunggu-tunggu. Segera gadis kecil itu memeluk Raynold yang mencoba melepaskan diri.

"Ayah sudah pulang? Yah, aku sudah lama menunggumu. Ayah tidak mengucapkan selamat ulang tahun padaku? Ayo, kita tiup lilinnya!"

Aleona menarik lengan Raynold menuju meja yang dihuni kue ulang tahun yang sudah lama menganggur. Namun, belum sampai tepat didepan kue itu, Raynold terlebih dahulu melepaskan jemari Aleona yang melingkar ditangannya membuat gadis kecil itu berhenti lalu mendongak menatap Raynold meminta penjelasan.

Raynold sama sekali tidak merasa iba melihat Aleona yang menatapnya penuh binar dan juga harap, lalu Raynold berkata, "aku lelah, aku ingin tidur. Jika kau ingin meniup lilin, tiup saja sendiri! Aku tidak punya waktu untuk melakukan hal tidak berguna seperti ini." Raynold melangkah berniat meninggalkan Aleona yang menatap penuh kecewa. Lagi, air mata gadis itu kembali mencucur. Hatinya sakit.

"Ayah!!" Aleona berlari mengejar Raynold dan berhasil memeluk pria itu dari belakang dan itu berhasil menghentikan langkah pria itu.

"Ayah kenapa? Aku ulang tahun sekarang, umurku sudah enam tahun. Apa Ayah tidak membawa kado untukku?" cecar Aleona sambil menangis. Raynold tidak merespon. Baik dari ucapan maupun membalas memeluk anaknya itu. Ia berdiri bak patung yang mati rasa.

"Ayo, kita tiup lilinnya! Aku sudah menggantinya tiga kali agar kita meniupnya sama-sama. Ayo, Ayah!" Aleona kembali menarik lengan Raynold dan pria itu menarik tangannya cukup kuat lalu berkata,

"Cukup! Apa gunanya meniup lilin? Kau pikir dengan lilin itu ditiup aku akan senang, begitu? Jika kau ingin meniupnya, tiup saja sendiri!" bentak Raynold.

Gadis sekecil itu sering mendapat bentakan yang membuat hati kecilnya selalu menangis.

"T-tapi aku ingin meniupnya dengan Ayah..."

"Apa untungnya aku meniup itu denganmu?"

"Hanya meniup saja, Ayah juga tidak membawa kado untukku."

"Aku bahkan tidak ingat bahwa kau ulang tahun sekarang! Aku tidak peduli dan ini semua hanya buang waktu. Pergi tidur!" Raynold mendorong Aleona agar pergi dari dekatnya. Gadis itu mundur tiga langkah akibat dorongan Raynold.

Dengan tangis yang menggema, Aleona kembali memeluk Raynold dan berkata, "sekali saja, Ayah! Ayo, tiup lilin bersamaku!" Aleona melingkarkan lengannya dipinggang Raynold dengan sangat erat supaya pria itu tidak berhasil melepasnya.

"Sekali saja..." pintanya dengan sesenggukan.

"Aku bilang tidak, ya tidak!" keukeuh Raynold dan sekuat apapun Aleona memeluk tetap saja berhasil dilepas.

"Ayah, tunggu! Dengarkan aku dulu!" Aleona terus mengejar Raynold hingga sampai didepan kamar pria itu. Sebelum Aleona ikut masuk, Raynold terlebih dahulu masuk dan langsung mengunci pintunya.

Lengan mungil Aleona memukul pintu brutal dan berteriak, "Ayah buka pintunya, Ayah! Sekali saja, ayo, tiup lilinnya! Aku janji kali ini saja." Aleona terus mengetuk pintu berharap Ayahnya membuka pintu dan mau meniup lilin bersamanya.

"Ayah kenapa jahat padaku? Aku menyayangi Ayah, apa Ayah tidak menyayangi ku?" tangis Aleona pecah dan lima menit kemudian tidak ada suara lagi yang terdengar.

Setelah kepergian Aleona, pria yang bersikap acuh dan jahat itu menangis dilantai seraya memegangi dadanya yang sesak. Ia mencoba mengatur nafasnya yang tersengal.

Raynold tahu bahwa sikapnya ini kurang ajar dan salah tetapi ia tidak tahu kenapa setiap melihat Aleona dia ingin marah dan kesal. Ia menyayangi putri kecilnya itu tetapi tidak bisa menunjukannya dan juga mengekspresikannya.

Setiap melihat Aleona, bayangan masa lalu yang membuatnya trauma terngiang di kepalanya. Itu sebabnya, Raynold memilih tidak peduli dan membenci gadis kecil itu.

–oOo–

Wah ini terlalu berat sebenarnya, ya?

Masa, Aleona sekecil itu diperlakukan dengan kejam sama Ayahnya sendiri?

Seharusnya ia bahagia, bukan?

Hi, Dad! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang