02. Aleona Demam

18K 1.2K 29
                                    

Kembali bersama sapira dengan membawa update an cerita bahagia ini untuk kalian🤗🌷

Semoga kalian senang mwhehe

–oOo–

Pagi yang cerah untuk mengawali hari. Di dalam rumah mewah itu terdapat seorang pria yang sedang melakukan sarapan untuk mengisi perutnya yang kosong. Ia terlihat santai dan tenang, tidak merasa aneh dengan suasana sepi yang tercipta dengan ketidakhadiran sang putri di meja makan.

Hatinya tidak tergerak untuk mengetahuinya. Di pikirannya pasti Aleona masih berkutat dengan selimutnya yang tebal.

Walau begitu Raynold mulai sedikit aneh, ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis kecil itu muncul. Bagaimanapun Raynold bertugas mengantar gadis itu ke sekolah.

"Ayah?"

Raynold mendongak ke arah suara. Di ujung sana Aleona melangkah lemas dengan wajah sedikit pucat.

Hingga gadis kecil itu tiba di meja makan, Raynold tak kunjung buka suara maupun berniat untuk tahu tentang anak itu. Wajahnya tetap dingin dan kaku seperti patung.

Aleona meraih mangkuk berisi sup hangat yang berada dekat sang ayah. Ia terus meraih dengan tangannya yang mungil, tetapi tidak bisa menjangkau. Gadis itu menarik tangannya lalu beralih menatap sang ayah yang masih sibuk melahap makanannya dengan tenang.

"Ayah, geser sedikit mangkuknya!" pinta Aleona, gadis itu menyungging senyuman tipis ketika Raynold menatap dingin.

"Keluar dari kursimu lalu ambil. Jangan manja!" ketusnya. Raynold kembali memasukkan makanannya ke dalam mulut.

Seharusnya Aleona tahu bahwa itu jawaban Raynold. Tanpa menjawab lagi gadis kecil itu keluar dari kursinya dan berjalan ke sebelah Raynold untuk meraih mangkuk, Aleona melirik sekilas kearah Raynold yang sama sekali tidak peduli. Sempat gadis itu mengerucutkan bibirnya hendak menangis, tetapi ia urungkan karena takut Raynold malah marah.

Lalu, Aleona kembali ke kursinya dan segera menyantap makanannya. Namun, ia merasa semua makannya hambar, tidak berasa di lidahnya. "Tidak enak!" katanya. Ia menyudahi acara makannya dan menggeser pelan yang ada didepannya.

Melihat dan mendengar itu Raynold menatap tajam. Anak ini tidak tahu bersyukur dan tidak tahu diri, pikirnya.

"Tidak tahu diri! Selama ini kau makan makanan yang aku masak, ini juga sama. Aku tidak mencampurnya dengan racun!"

"Tapi ini tidak enak, Ayah. Rasanya hambar!" jawab Aleona yang semakin membuat Raynold murka. Padahal ia merasa biasa saja. Memang, masakannya tidak seenak masakan para ahli dapur, tetapi setidaknya ada rasa pasnya.

"Lebih enak mana dari pada tidak makan?"

"Tapi ini memang tidak ada rasanya."

Raynold terdiam, matanya benar-benar menusuk menatap Aleona. Andai bisa ia menerkam anak itu.

"Cepatlah. Tidak berguna!" Raynold bangkit dari kursinya dengan rasa kesal. Ia meraih tas dari atas meja dan melangkah menuju pintu. Aleona dengan rasa sedihnya mengikuti Raynold. Setelah keduanya keluar dari rumah, Raynold tidak lupa mengunci rumah karena mereka tidak punya asisten rumah tangga. Selalu buruk di mata Raynold.

"Awhh!" Aleona meringis ketika ia tersandung dan tersungkur disebelah mobil. Ia menekan sebentar kepalanya yang berdenyut sebelum mendongak menatap sang ayah yang tidak ada inisiatifnya untuk membantu.

"Tidak perlu drama, cepat bangun!" titah pria itu dengan tidak punya hati nurani. Aleona kembali bangkit lantas masuk kedalam mobil mengikuti Raynold.

Lagi, Raynold tampak tidak peduli. Ia hanya fokus menyetir. Apa tidak ada cinta untuk gadis kecil itu? Apa masalah bisa terselesaikan dengan cara demikian? Tidak. Yang ada hanyalah penyesalan.

Aleona yang duduk di sebelah Raynold hanya diam dengan meletakkan kepalanya di kaca mobil. Ia memandang ke luar dengan rasa sedih di hatinya. Ia hanya ingin disayang oleh ayahnya, ingin dipeluk, dicium, dan diperhatikan,
Aleona hanya ingin itu dari Raynold.

Sesampainya di sekolah. Raynold menoleh ke samping tepat dimana Aleona yang masih duduk tidak lekas keluar. Raynold menghela nafas jengkel lalu keluar dari mobil untuk menurunkan gadis itu. Raynold membuka pintu bagi Aleona dengan kasar lalu berucap, "Keluar!"

Gadis itu tersentak dan langsung terkesiap lantaran ia tertidur. "Ayah?"

"Anak ini! Kau mau jadi apa jika masih pagi sudah mengantuk?"

Aleona turun dari mobil dengan lemas, gadis itu mendongak dan berkata, "kepalaku pusing."

"Tidak perlu manja! Kau hanya berpura-pura agar mendapat perhatianku. Sekarang, masuk ke kelasmu!" Raynold menutup pintunya lalu berjalan ke sisi sebelah untuk pergi dari sana.

Aleona tidak dapat berkata-kata, ia tidak bisa menjelaskan betapa sakitnya ia dengan perlakuan Raynold. Ia hanya bisa menangis dan menangis

* * *


"Terimakasih, Bu."

"Sama-sama. Aleona harus banyak istirahat dan jangan biarkan pikirannya membengkak!"

Raynold mengangguk menanggapi saran guru yang baru saja menangani Aleona di UKS.

Raynold mendapat telepon dari gurunya Aleona yang mengatakan bahwa Aleona masuk UKS karena demam. Mau tidak mau Raynold menjemput anak itu kalau tidak mau reputasinya buruk di mata guru. Apa yang akan orang-orang katakan jika Raynold tidak peduli dengan putrinya yang sakit?

Dengan menggendong Aleona, Raynold membawanya untuk masuk ke dalam mobil. Pulang ke rumah. Di saat masih di gendong, Aleona mencuri kesempatan memeluk leher Raynold dengan erat. Ia memeluknya sangat erat, pelukan rindu.

Tiba di mobil Raynold ingin menurunkan Aleona tetapi anak itu tidak mau, ia terus memeluk erat sang ayah dan mulai terisak.

"Turun!" titah Raynold dengan penuh penekanan. Ia masih berusaha melepaskan pelukan Aleona yang mengikatnya.

"Sekali saja, Yah."

Raynold mengerutkan dahi bingung, tak berselang lama pria itu kembali ingin menurunkan Aleona dari tubuhnya. "Turun! Apa kau gila? Kita akan pulang supaya kau bisa istirahat!" nada Raynold terdengar tinggi, ia tidak suka dengan tingkah manja Aleona.

"Tidak mau!" Aleona tidak ingin turun.

Pada akhirnya, Raynold menggendong Aleona sambil menyetir hingga tiba di rumah. Bahkan gadis kecil itu tidak mau turun ketika Raynold menyuruh berbaring di ranjang. Aleona berpikir, jika ia turun maka kesempatan ini akan hilang.

Atau bahkan, Raynold akan pergi ke kantor lagi jika ia turun. Aleona tidak mengharapkan itu.

Raynold terus berusaha untuk melepaskan Aleona dari tubuhnya, tetapi anak itu sangat kuat memeluknya. Raynold sampai emosi dengan memukul lengan Aleona cukup keras. Ia cukup emosi dengan tingkah Aleona yang bebal. Hingga ia main tangan walau lengan anak itu yang jadi korban.

Walaupun Raynold memukul lengannya, Aleona tetap merasa sedih. Satu, karena sakit, Raynold terlalu kuat memukulnya. Kedua, Raynold memukulnya bukan sekedar candaan supaya turun, tetapi karena marah dan tidak suka. Dengan rasa sakit di bagian lengan dan hati, Aleona mengalah turun.

Gadis kecil itu mengelus lengannya yang terasa sakit seraya menangis. Ia tidak berani menatap Raynold yang masih berdiri tegap dengan wajah dingin nan menusuk.

"Makanya jangan membangkang! Aku tidak suka kau menjadi anak yang suka melawan."

Setelah mengucapkan itu, Raynold pergi meninggalkan Aleona. Anak itu hanya bisa menangisi kepergian Raynold yang tertekan di ambang pintu.

Apa Aleona salah ingin bermanja dengan ayahnya? Apa Aleona salah bercanda dengan ayahnya? Apa Aleona salah marah ketika Raynold tidak mempedulikannya?

Tentu saja Aleona tidak salah. Ia berhak mendapat yang menjadi hak paten seorang anak.

–oOo–

Raynold jahat bgt hikss🤧
Tidak cocok untuk menjadi sugar daddy author🙏🙏

See youu next partt🫂

Hi, Dad! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang