Tengah malam, tepat jam dua belas. Raynold baru pulang dari kantor. Seluruh badannya terasa remuk dan pegal. Jabatannya sebagai CEO sangat menyiksanya. Ia bisa mati mengenaskan gegara bekerja terlalu di porsir.
Kaki jenjangnya melangkah ke arah kamarnya, ia bahkan tidak merasa risih dengan keadaan rumah yang gelap. Bahkan netranya terdorong sekilas ke kamar sang Putri yang menggelap, terlihat dari fentilasi di atas pintu yang tidak menunjukkan setitik cahaya.
Tak membuat hati kecilnya tergerak. Sekedar tahu apa gadis kecil itu sudah tidur? Tumben sekali tidur tanpa lampu yang menerangi.
Raynold terus melangkahkan kakinya, perlahan ia memutar knop pintu dan mendapati kamarnya gelap gulita. Ia meraba dinding dimana saklar lampu berada.
Clack!
Wajah Raynold tetap datar walau ia disambut dengan senyuman manis dan hangat. Cukup lama ia memandangi gadis kecil yang terduduk di atas ranjang yang semula bersembunyi dibalik selimut tebal. Aleona terus tersenyum kepada Raynold.
lalu, ketika gadis kecil itu menyibakkan selimut dan mulai beranjak turun untuk menghampiri sang Ayah yang berdiri radius lima meter darinya. "Ayah?" Aleona berhasil memeluk Raynold tanpa penolakan dari pria itu. Aleona merasa senang dengan hal kecil tersebut, hal itu sudah cukup membuatnya senang.
"Sedang apa kau disini? Kenapa kau belum tidur?" tanya Raynold dengan nada dingin. Pria itu berdiri tegap tidak niat menunduk melihat gadis kecil itu.
Aleona tersenyum seraya mencari kenyamanan di perut sang Ayah. "Aku menunggu Ayah. Aku selalu suka menunggu Ayah hingga tengah malam, aku takut tidur sebelum Ayah pulang. Bagaimana bisa aku tidur sementara Ayah masih di luar sana? Aku selalu khawatir jika Ayah belum pulang tengah malam," tutur Aleona panjang lebar.
Raynold mengarahkan matanya kebawah tanpa menunduk. Sedikit tersentuh tetapi lebih besar rasa gengsi.
"Untuk apa kau menungguku? Aku bukan anak kecil yang perlu kau tunggui pulang. Urus saja dirimu, itu lebih baik!"
"Aku bisa urus diri ku sendiri, tetapi aku ingin mengurus Ayah juga. Aku adalah putrimu yang akan selalu menyayangi Ayah." Aleona semakin mengeratkan pelukannya.
Tidak tergerak, kah, hati batu itu? Apa hati itu sudah benar-benar batu, atau besi? Apa tidak bisa merasakan getaran rasa bersalah telah membuat anak sekecil itu menderita?
Raynold tidak merasa iba dengan ucapan Aleona. Tangannya terulur melepas lengan Aleona yang melingkar di pinggangnya. Gadis kecil itu menatap sendu, maniknya mengikuti pergerakan Raynold yang mulai melepas kemejanya hendak membersihkan diri.
Tidak banyak bicara, Aleona duduk ditepi ranjang dengan manik yang masih sibuk mengamati sang Ayah. Hingga Raynold keluar dari kamar mandi pun, Aleona masih setia menatapnya.
"Kenapa masih di sana? Pergi tidur!"
Aleona mengerucutkan bibirnya, "aku ingin tidur bersama Ayah. Boleh, kan?" senyuman Aleona timbul.
"Pergi tidur!"
"Tidak mau!"
"Pergi tidur, Aleona!!"
"Tidak mau!" Aleona menangis seraya merangkak ke tengah ranjang. Ia menarik selimut menutupi tubuhnya yang terduduk sambil bersandar di headboard. Supaya Raynold tidak mengusirnya.
Raynold menatap jengah, "kenapa kau suka melawan? Apa ini yang kau pelajari selama di sekolah?"
Aleona menggeleng cepat sembari menghapus air matanya dengan selimut.
"Lalu?" tanya Raynold dengan masih pada tatapan jengah.
"Aku hanya ingin tidur bersama Ayah. Ayah tidak mau meniup lilin bersamaku kemarin, tidak mau aku peluk, tidak mau membantuku, dan sekarang Ayah juga ingin menolak untuk tidur bersama."
"Aku tanya ini, apa pentingnya aku tidur bersamamu?"
"Itu penting untukku, itu kebutuhan untukku, Ayah."
Raynold bungkam, ia tidak bisa melawan lebih lama lagi. Pria itu melangkah mendekat ke arah ranjang yang dimana Aleona berpikir Raynold mau tidur bersamanya, "baiklah, kau tidur di sini, aku tidur di sofa!" Raynold meraih bantal dan beralih tidur di sofa.
"Ayahh!!" teriak Aleona menggema. Suaranya berhasil memekakkan telinga. Raynold segera menatap tidak suka disaat gadis kecil itu kembali menangis sambil menendang-nendang selimut.
"Ayah jahat! Ayah memang jahat!!" tangis Aleona pecah. Ia tidak terima dengan perlakuan Raynold yang selalu acuh padanya. Ia terlalu dini memahaminya, yang ia butuhkan di usia dininya ini adalah perhatian lebih.
"Yang menyuruhmu tidur di situ siapa?" tanya Raynold dengan intonasi meninggi.
Lantas Aleona keluar dari ranjang lalu mendekati Raynold yang terduduk di sofa. Segera gadis kecil itu menaiki paha pria itu lalu memeluknya kembali. Aleona menangis seraya memeluk Raynold bahkan kaos putih pria itu mulai basah akibat air mata Aleona.
"Aku tidak tahu kesalahanku apa, aku tidak tahu apa yang aku lakukan membuat Ayah benci padaku. Maafkan aku, Ayah. Aku mohon maafkan aku! Aku janji, aku akan menuruti semua permintaan Ayah asal tidak marah padaku lagi."
"Aku tidak punya siapa-siapa di sini selain Ayah. Aku tidak punya Ibu. Aku mencintai Ayah! Aku janji tidak akan melawan lagi, tetapi Ayah jangan membenciku."
"Aku mohon.."
Apa yang lebih sakit daripada kata-kata itu? Bahkan tidak sesakit belati menembus jantung.
"Ayah, Jawab aku! Aku putrimu, kan? Orang bilang kita mirip, itu artinya aku putri Ayah. Kalaupun aku bukan putrimu, kembalikan aku pada orang tua ku yang asli. Mereka pasti lebih menyayangiku!"
Degup jantung Raynold berdetak abnormal. Ada rasa sakit ketika kata-kata itu terlontar dari bibir mungil Aleona. Ia mengepal tangannya, ia mencoba untuk tidak menangis di hadapan Aleona. Rasanya begitu menyesakkan.
Raynold sadar bahwa selama ini ia sudah menjadi Ayah yang jahat tetapi ia tidak bisa mengubah kenyataan itu. Ia terlalu lemah untuk keluar dari kubangan hitam di masa lalu.
Semua seakan menyudutkan dirinya dan melukainya.
"Jawab, Ayah!" lirih Aleona dengan suara serak. Ia terus mendusel leher Raynold mencari kenyaman, melepas rindu yang mungkin hari akan datang ia tidak bisa melakukannya lagi.
"Tidurlah!" titahnya dengan nada melunak.
"Bersama Ayah, ya? Sekali ini saja."
Dengan pasrah Raynold mengangguk membuat Aleona memeluk erat dengan tiba-tiba. Ia bahagia dengan jawab sesingkat itu.
Lalu, Raynold membawa Aleona ke atas ranjang dan menidurkan gadis kecil itu. Aleona terus memeluk Raynold, tidak mau lepas. Lagipula Raynold tidak menolak.
Sejarah yang paling membuat Aleona bahagia. Dimana ia bisa tidur berdua dengan sang Ayah dan bisa memeluknya dengan leluasa.
"Selamat tidur, Ayah."
Aleona menutup kelopak matanya dengan perlahan. Hari yang semakin larut membuatnya mengantuk bukan kepalang.
Setelah Aleona menyelam ke alam bawah sadar, Raynold menatap anak kandungnya itu. Ingin sekali tadi Raynold memukul mulut Aleona yang mengatakan ia bukan anak kandungnya? Entah kenapa Raynold sakit mendengar itu. Walau ia selalu mengacuhkan Aleona, tetapi ia tidak suka mendengar Aleona berkata demikian.
Perlahan Raynold mengelus pipi basah Aleona dengan lembut. Ia sebenarnya merasa bersalah atas apa yang telah ia perbuat.
"Maaf..."
* * *
Seneng ga, Raynold mulai perhatian? Kalo aku sih masih kurang yaaw
Okay see u the next part!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Dad!
General FictionGadis kecil yang menginginkan kasih sayang dari ayahnya, mengharapkan cinta dari sang ayah. Ia terlahir sebagai anak perempuan cantik dengan senyumannya yang manis. Namun, ia di takdirkan sebagai anak broken home yang menjadi korban dari suatu perm...