23. Benci Ayah!

13.9K 847 147
                                    

Halooo!!

Di follow dulu akun wp ku yuk, bagi yang belum💟

–oOo–

Tak satu pun yang bisa memahaminya, tak satu pun ada yang peduli padanya. Apakah Aleona baru sadar bahwasannya kehadiran dirinya hanyalah main-main belaka? Apa dirinya tidak berarti bagi siapapun? Apa ia pantas dipermainkan layaknya dadu yang pasrah jatuh di mana dan menunjuk angka berapa?

Ia selalu diterpa oleh luka dan kesedihan, menyayat hati yang membuat ngilu hingga ke ubun-ubun. Seolah-olah ia tidak dibutuhkan.

Sepanjang hari ia hanya menangis dan menangis, meratapi nasib yang kini tinggal bersama wanita yang berstatus ibu kandungnya. Selama ini, Aleona tak pernah mengira bahwa kedua orang tuanya diam-diam memperebutkan hak asuhnya tanpa memberitahukan kepadanya.

Aleona marah mendengar hak asuhnya diperebutkan, terlebih lagi Rebecca yang memenangkan hak asuh, bukan Raynold. Ia juga marah terhadap sang ayah yang tidak memberitahukannya dan tidak berhasil memenangkan hak asuh, dan ia juga marah kepada sang ibu karena telah memisahkannya dari sang ayah.

Jika boleh memilih, Aleona lebih memilih hidup bersama Raynold tanpa merasakan cinta Rebecca. Selama ini ia tidak pernah bermimpi untuk sebuah cinta dari seorang ibu, ia bahkan ikhlas mengetahui sang ibu telah meninggal tetapi hanya cinta dari sang ayah.

Akan tetapi, dengan Rebecca berhasil memisahkan Aleona dari Raynold semakin membuat Aleona menaruh benci pada Rebecca. Aleona masih sangat ingat seberapa hancurnya Raynold bercerita tentang masa lalunya yang kelam setelah ditinggal pergi oleh Rebecca.

"Aku ingin pulang."

Aleona menangis tersedu-sedu, sendirian, dan merindu setengah mati. Ia menggenggam sebuah foto mini dan meletakkannya di dada dan memeluknya erat. Itu foto Raynold yang ia robek dari salah satu bingkai di rumahnya sewaktu Raynold selalu menolak foto bersama dan masih membenci Aleona. Aleona selalu membawa foto itu kemana saja ia pergi, ia begitu menyayangi Raynold dan selalu rindu jika tidak bertemu terlalu lama.

"Ayah, jemput aku. Aku tidak mau tinggal di sini, aku tidak suka di sini!" Tak tanggung-tanggung air mata itu membanjiri hingga turun ke pakaian Aleona, membuat anak itu berantakan.

Dari belakang, Rebecca menghampiri dengan setelan gaun biru laut yang begitu apik di tubuh idealnya. Ia membawakan sebuah senyuman hangat dan manis kepada sang putri yang menangis.

"Aku membenci Ibu!" nada Aleona tenang, tetapi sangat menusuk. Rebecca mematung sejenak, sungguh tak mengira akan mendapat ungkapan kebencian dari sang putri.

"Kau tahu Ibu sangat menyayangimu, kan?" Rebecca duduk di sebelah Aleona dan menghapus air mata yang sudah manganak sungai. Lalu, Rebecca membawa Aleona ke dalam dekapan hangatnya, tetapi dengan sarkas Aleona menarik kembali tubuhnya dan menatap marah pada Rebecca.

Aleona bangkit, mengepal tangan mungilnya dengan derai air mata yang masih setia berlomba untuk turun. "Sekalipun Ibu rela mengorbankan nyawa untukku, aku akan tetap membenci Ibu. Sudah kubilang sejak awal, jika Ibu memisahkanku dari Ayah maka aku akan sangat membenci Ibu." Aleona berlari masuk ke dalam rumah setelah berucap demikian dan meninggalkan Rebecca yang diam terpekur untuk mencerna.

Ya, Rebecca masih ingat ketika ia pertama kali bertemu Aleona dan anak itu menolak untuk mengakuinya sebagai ibu kandungnya. Aleona berkata, 'Jika dengan kehadiran Ibu membuat Ayah marah padaku, maka aku akan membenci Ibu.'

Dari sini, Rebecca tahu bahwasannya Aleona lebih menyayangi Raynold dari apa pun. Rebecca tahu bahwa dirinya tidak pantas berada di lingkungan Raynold dan Aleona, bahkan tidak berhak memberitahukan kepada Aleona bahwa ia adalah ibu kandungnya. Sebab, kesalahannya sungguh tidak bisa dimaafkan dan sangat menjijikkan.

Namun, ia adalah seorang ibu yang mempunyai sikap egois dan ingin menang sendiri. Ia juga ingin merasakan bahagia dan membahagiakan sang buah hati yang selama ini tidak pernah ia berikan secuil kasih sayang walau dengan membuatnya sedih.

* * *

D

engan jatuhnya hak asuh ke tangan Rebecca, Raynold hampir gila. Ia sangat terpukul. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan betapa hancurnya hati seorang Raynold Julio. Ia terpuruk dalam kerinduan yang amat mendalam terhadap sang putri.

Ia sudah berusaha agar tetap tegar, bahwasannya pasti ada kesempatan buat mereka bertemu melepas rindu. Sungguh, Raynold rindu amat rindu terhadap sang putri. Saking ia merindu, Raynold kini tengah mengintai bak agen mata-mata tak jauh dari gerbang sekolah Aleona. Ia menanti sang putri datang, ia tidak sabar lagi.

Setelah menunggu sekian lama, Raynold akhirnya bisa melihat Aleona yang turun dari mobil Maserati hitam milik Rebecca. Anak itu tampak sedih, tak menyahut ketika Rebecca berpamitan lewat jendela mobil.

Setelah mobil Rebecca jauh, Raynold turun dari mobil dan menghampiri Aleona yang tengah melangkah memasuki gerbang. Namun, langkah anak kecil itu tertahan ketika Raynold memanggil nama lengkapnya.

Aleona tak langsung membalikkan tubuhnya. Suara itu begitu familiar, seketika membuat lukanya kembali menganga dan basah. Air matanya lekas turun berlomba-lomba membasahi pipinya yang tirus.

"Ale, sayang?" panggil Raynold dengan parau seraya mendekati Aleona yang tak kunjung berbalik dan berhambur memeluknya. Ketika nyaris memeluk, Aleona buka suara.

"Aku benci Ayah!"

Untuk pertama kalinya Raynold mendengar itu langsung dari mulut Aleona. Selama ini, seburuk apa pun Raynold memperlakukan Aleona, kata 'benci' tidak pernah keluar dari mulut Aleona. Namun, seakan tersambar petir di siang bolong, Raynold sungguh amat terkejut dan terpukul.

"Sayang?"

Aleona membalikkan tubuhnya, ia menatap sang ayah dengan wajah yang penuh air mata. "Aku benci Ayah!" ia mengulangi, "Ayah janji tidak akan berpisah denganku, tapi Ayah tidak menepatinya!" teriak Aleona sembari menangis sejadi-jadinya.

Raynold tersentak, air matanya kian turun membasahi pipinya. Tak lantas memeluk sang putri, ia masih berdiri menerima luapan amarah dari sang putri.

"Aku benci Ayah! Ayah jahat! Ayah adalah orang yang paling jahat di dunia ini!"

Aleona berlari ke arah Raynold dan langsung memukuli Raynold dengan tangannya yang mungil. "Apa salahku? Apa aku tidak pantas hidup bersama Ayah? Apa aku semenjijikkan itu di mata Ayah, sehingga Ayah sebenci itu padaku?! Apa aku tidak berhak mendapat kasih sayang Ayah?"

Aleona terus memukuli Raynold dengan sekuat tenaga tanpa menghentikan tangis yang meluap-luap. Raynold berusaha menghentikan pergerakan Aleona, tetapi anak itu telah dikuasai oleh emosi hingga tak terkendali.

"Ale, tidak sayang, kau salah. Maafkan Ayah, Ayah sangat menyayangimu, Nak." ucap Raynold yang masih berusaha menenangkan Aleona.

Ia mencoba memeluk Aleona, tetapi tak kunjung berhasil. "Kau salah paham, kau sangat berarti bagi Ayah. Jangan katakan itu lagi, maafkan Ayah." Raynold menangis dan berhasil memeluk Aleona yang memberontak dalam dekapannya.

"Ayah bohong, Ayah jahat! Aku benci Ayah! Aku benci kalian!!"

Raynold memeluk Aleona sangat erat, tangisnya pecah dan sejurus dengan rindunya yang membludak. Ia terus mencium pucuk kepala Aleona dengan penuh sayang dan kerinduan.

"Ayah menyayangimu, sayang. Maafkan Ayah karena tidak memberitahumu semua ini."

"Aku benci Ayah. Aku benci!"

–oOo–

Apa kalian ngerasain apa yg Raynold rasain sekarang?

Hancur banget pasti ya hehe
Begitupun dgn Aleona 🫂

Hi, Dad! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang