21. Begitu Banyak Teka-Teki

4.3K 341 27
                                    

Setelah mendengar cerita Aleona, Raynold jadi tidak tenang. Pikirannya terus dihantui dengan bayang-bayang Rebecca yang menjadi dalang kejadian penculikan Aleona. Namun, pertanyaan yang Raynold ingin lontarkan jika benar Rebecca melakukannya adalah kenapa ia melakukannya dan untuk apa?

Jika dikaitkan dengan kasus hak asuh, Raynold rasa itu berkaitan. Namun, apapun yang Rebecca rencanakan, Raynold akan menghalalkan segala cara agar Aleona tetap bersamanya. Ia ingin membesarkan Aleona hingga anak itu menjadi milik seorang pria baik setelah ia dewasa.

Raynold ingin membalas waktu yang selama ini ia sia-siakan. Memberikan Aleona seluruh cinta yang ada padanya. Membahagiakan Aleona adalah prioritasnya untuk saat ini.

Beberapa hari tidak berjumpa, akhirnya Raynold dan Rebecca melakukan pertemuan pasal hak asuh. Selagi bisa diselesaikan secara kekeluargaan, kenapa harus membawa ke pengadilan? Mungkin mereka bisa menghasilkan sebuah solusi yang membuat keduanya untung?

"Ada apa, Ray?" nada dan wajah Rebecca sama-sama ketus. Tidak ada raut belas kasihan, tatapannya begitu jengkel menatap pria tampan itu. Dengan tangan yang setia menyilang di depan dada, ia kembali bersuara, "Jika kau ingin membujukku untuk tidak menggugat hak asuh Aleona, maka kau lebih baik pulang."

Tidak lekas menjawab, Raynold masih mengamati wajah cantik dari mantan istrinya itu. Wajah anggun yang belum berubah, masih cantik dan mempesona. Namun, sifat buruknya membuat Raynold berdecih dalam hati. Sungguh jijik untuk mengingat dan membandingkannya dengan wajah Rebecca.

"Apa lagi memang yang harus aku bicarakan denganmu jika itu bukan tentang Aleona?" Raynold buka suara.

Mereka saling beradu tatap, tak berselang lama Raynold kembali berujar, "Kenapa harus merebutkan hak asuh? Tidakkah cukup bagimu meninggalkan kami? Jangan khawatir, kami bisa hidup tanpamu, Aleona bisa hidup tanpa seorang ibu."

"Selama ini dia hidup tanpa belaian tanganmu. Aku yang merawatnya, aku memberinya makan, memenuhi semua kebutuhannya. Lantas, apa yang kau harapkan dengan beralasan kebenaran di masa lalu?"

"Aleona sudah tahu dan dia cukup terpukul dengan kenyataan itu makanya ia berubah sikap kepadamu. Tidakkah itu cukup membuktikan bahwa kau ada dan tidak ada pun sama saja, sama-sama tidak berpengaruh."

"Kau tidak mengerti, Ray. Bagaimanapun aku adalah ibunya, aku menyayanginya. Keegoisanmu lah yang membuatku seperti ini!"

"Hah? Keegoisan? Maksudmu, apakah aku menerimamu kembali dan melupakan apa yang telah kau lakukan kepadaku dan putriku?"

"Berhenti menyebut Aleona hanya putrimu, dia juga putriku!" pekik Rebecca dengan mata berkaca-kaca. Raynold berdecih, membuang muka tidak ingin menatap sang mantan istri.

"A-aku juga ibunya, Ray," lirih Rebecca, ia memegang dadanya yang terasa sesak. Seorang ibu akan hancur ketika ia merasa hubungannya terancam dengan anaknya.

"Tapi kau menyakitinya juga dengan cara seperti ini," ujar Raynold dengan nada tenang.

"Apa kau pikir selama ini kau tidak menyakitinya? Jangan pikir aku tidak tahu apa saja yang sudah kau perbuat pada anak malang itu. Kau juga membuatnya menderita dan tidak menganggapnya seperti anak. Baru-baru ini saja kau menyayanginya dan itu sama saja dengan palsu!"

"Rebecca!!"

Rebecca menaikkan satu alisnya, berlagak kuat dan berhasil membuat Raynold terpojokkan. "Apa aku salah? Perebutan hak asuh tetap berlangsung." Rebecca bangkit dari duduk, meraih tas kecil harga tinggi dari atas meja,

"Sampai bertemu di pengadilan lusa nanti."

Pupil Raynold melebar dengan refleks tubuhnya bangkit. "Apa maksudmu?!" Tanyanya dengan nada tinggi. Rebecca menanggapi dengan senyuman miring sebelum melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar pergi jauh, ia menoleh sejenak sambil berkata,

Hi, Dad! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang