10. Perang Dingin

8.6K 663 3
                                    

Hai Haii semoga ga pernah bosen yaa dgn cerita ini huhuu 😭

Selamat membaca🫂

–oOo–

Mentari terbit di ufuk timur. Cahayanya mulai merengsek masuk kedalam kamar melalui celah-celah serat gorden. Membuat anak kecil itu terbangun dan lekas mengucek matanya agar terbangun seutuhnya. Ia dengan lemas melirik jam weker di sebelahnya tepat di atas nakas.

Anak itu beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Ia mandi, berpakaian, memakai sepatu, dan mengambil tasnya yang ada di atas meja belajarnya.

Anak itu lekas berjalan menuju meja makan, dimana sang ayah sudah berada di sana dan sudah terlebih dahulu menyantap makanannya.

Aleona melirik sekilas tetapi tidak menemukan sisi kelembutan keluar dari aura Raynold pagi itu. Anak itu memilih diam dan menikmati sarapannya.

Setelah menikmati sarapan dalam diam, keduanya usai dan segera pergi ke tujuan masing-masing.

Pun, sampai di sekolah, Raynold tak kunjung buka suara maupun melirik Aleona yang mencoba mendekatkan dirinya agar diperhatikan.

"Hati-hati, Ayah!" seru Aleona dengan datar, berharap ayahnya merespon lalu menciumnya. Namun, itu tidak terjadi. Raynold bahkan tidak keluar dari dalam mobil, pria itu melesat pergi setelah Aleona keluar dari mobil. Membuat anak itu kembali bersedih.

Kapan ia akan mendapatkan kasih sayang dari sang ayah seutuhnya?

"Aleona?"

Aleona menoleh ke samping, tepat wanita kemarin datang dengan sebuah senyuman rindu. Aleona hanya menatap datar dengan sisa air mata yang menangisi ayahnya.

Rebecca mendekat dan kembali memeluk Aleona yang mematung. Rebecca tampak rindu dengan anak yang ia akui anak kandungnya.

"Apa Bibi kesini untuk mengatakan bahwa Bibi adalah Ibu kandungku?" tanya Aleona dengan datar. Ia sama sekali tidak menatap wanita cantik itu yang sedang mengangguk lalu membingkai pipi Aleona dengan tangannya. Wanita itu menitikkan air matanya.

"Aku Ibumu, percayalah. Aku Rebecca Wilson, Ibumu! Aku yang melahirkanmu!"

Aleona balas memandang wanita itu dengan air mata yang kembali berlinang. Aleona menyiratkan kekecewaan kepada wanita yang mengaku-ngaku ibu kandungnya. Aleona kecewa.

"Walau aku percaya Bibi adalah Ibuku, apa yang akan Bibi lakukan?"

Pertanyaan Aleona berhasil menjebak Rebecca. Wanita yang menginjak kepala tiga itu tampak berpikir sambil memandangi wajah Aleona.

Cukup lama Rebecca terdiam karena pertanyaan Aleona. Sadar juga bahwa ia punya salah yang tidak pantas dimaafkan.

"Aku tidak pernah membencimu, aku bahkan sangat ingin bertemu denganmu. Tetapi, jika karena Ibu membuat Ayah benci padaku, aku juga benci pada Ibu," tutur Aleona dengan nada kecewa. Rebecca menatap sendu putrinya. Ia memalingkan wajahnya yang tak kuasa menatap wajah polos Aleona.

"Aku kembali karena aku merindukanmu, sayang. Aku ingin melihatmu," Rebecca kembali memeluk Aleona tetapi anak itu tidak pernah membalas pelukan Rebecca.

"Terimakasih. Aku harus masuk, aku sudah terlambat!" Aleona melepaskan pelukan Rebecca dan berlari masuk ke dalam gedung sekolah.

Rebecca hanya bisa memandangi tubuh mungil Aleona yang tertelan jarak. Wanita itu menghapus air matanya dan pergi dari sana. Setidaknya ia sudah bertemu dengan anaknya dan memeluknya beberapa kali.

Hi, Dad! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang