XX

141 43 1
                                    

"Eh kalian tadi pada denger gak sih si Daniel bilang orang-orang bertopeng?" tanya Avika kepada kedua temannya.

Saat ini mereka sedang berada di perpustakaan, bukan untuk membaca buku, melainkan mereka ingin merasakan ketenangan tanpa ada gangguan sedikitpun seperti di dalam kelas yang sekarang tengah gaduh karena jamkos.

"Apa kalian  berpikiran yang sama kaya gue?" tanya balik Arsya.

"Orang yang ngehadang kita? Sama orang yang nyerang markas geng nya si Argen apa itu satu perkumpulan yang sama?"

Raut wajah Azulla semakin serius, begitu pula dengan Arsya dan Avika. Apa yang sebenarnya terjadi? Bahkan mereka bertiga merasa tidak pernah memiliki musuh sama sekali. Sungguh sebelumnya mereka bertiga tidak terlalu memikirkan kejadian malam itu, tapi setelah mendengar kembali orang-orang bertopeng membuat mereka ingin mengetahui siapa orang yang bersembunyi di balik topeng itu.

"Gue rasa mulai sekarang bakal banyak puzzle yang acak-acakkan muncul dalam hidup kita. Jadi sebisa mungkin kita harus bisa menyatukannya dengan sempurna, biar kita tau siapa dalang dibalik semua ini," tekad Arsya. Kedua temannya pun ikut mengangguk yakin.

"Kalian heran gak sih, kenapa orang-orang itu ngehadang kita terus nyerang geng nya si Argen juga? Gak mungkinkan kalo cuman kebetulan? Dan lagi, pas kita dihadang lu orang yang pertama kali dicari sama cowok yang kayaknya ketua dari orang-orang bertopeng itu." Azulla berargumen.

Avika dan Arsya pun manggut-manggut mendengar penuturan Azulla. Memandang satu sama lain dengan tatapan intens. Untung saja, penjaga perpustakaan sedang pergi dan menitipkan perpustakaan kepada mereka bertiga, sehingga tak ada yang menegur mereka yang sedari tadi berbicara dengan nada yang cukup keras.

"Gue yakin ini bukan kebetulan, tapi sebuah tujuan," ujar Arsya.

*****

"Bangstt keluar lo bajingan!" sentak Argen yang kini telah masuk ke dalam rumah tua.

Tidak ada cahaya terpancar sedikitpun dari dalam rumah ini. Bahkan, rumah tua ini tidak seperti rumah lain yang memiliki jendela di setiap dindingnya. Rumah tua ini hanya didominasi dengan dinding dan satu pintu depan.

Argen menyusuri setiap lorong kecil dalam rumah tua itu. Matanya fokus mencari keberadaan seseorang yang membawanya kesini.

Sepi, seperti tidak ada satu orangpun di dalamnya. Hanya terdengar suara jangkrik dan burung yang sesekali bersuara. Biasanya akan ada banyak penjaga yang menjaga di pintu depan, atau bahkan sampai disetiap sudut rumah jika sedang terjadi penyekapan seperti ini. Apa ia salah tempat? Tetapi kenapa GPS yang terhubung pada ponselnya membawanya kesini?

Tanpa berfikir panjang, Argen tetap melangkah membawanya sampai di bagian paling belakang rumah tua. Kotor, banyak sekali lumut-lumut hijau yang menempel di setiap dindingnya. Rumah tua ini benar benar tidak terurus, bahkan jika dilihat dari luarpun layak disebut rumah angker.

Mata Argen terfokus pada satu kursi yang terletak disudut kanan dinding. Ia menghampiri kursi itu, semakin dekat jaraknya dengan kursi, semakin jelas pula ia melihat ember hitam kecil yang ditutupi oleh tutup panci di bawah kursi.

Tak ada sedikitpun rasa takut menjalar dalam diri Argen. Hanya rasa penasaran dan cemaslah yang kini mendominasi perasaannya. Satu tangannya terulur untuk mengambil ember hitam di bawah kursi, setelah di dapat Argen langsung membuka tutup pancinya. Seketika mata Argen terbelalak kaget melihat apa yang ada dalam ember hitam itu.

*****

"Bagaimana? Apa rencana pertama kita sudah berjalan dengan lancar?" ucap lelaki berjenggot tipis dihadapan lelaki muda yang berbadan kekar.

Love in ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang