XXVI

126 39 4
                                    

Matahari kota Jakarta bersinar begitu terik saat Arsya dan Alanka tiba di pemakaman umum kota Jakarta.

"Kenapa kamu bawa aku ke sini Sya?" tanya Alanka heran. Pasalnya, ia meminta Arsya untuk mempertemukannya dengan bunda, tetapi mengapa Arsya membawanya ke pemakaman?

"Katanya mau ketemu bunda," balas Arsya. Alankapun hanya mengangguk patuh menuruti perkataan Arsya yang sebenarnya ia masih tak mengerti.

Keduanya berjalan melewati deretan-deretan makam yang tersusun rapi. Sesampainya di sebuah makam yang bertuliskan 'Yolla Ardita' membuat Alanka mengerti arti dari perkataan Arsya tadi.

Arsya berlutut, sementara Alanka menaburkan bunga dari kantong plastik yang dibawa Arsya. Lalu ia juga berlutut di samping Arsya dan memberikan kantong plastik berisi bunga itu pada Arsya.

"Assalamualaikum bunda, maaf Arsya baru kesini lagi hehe. Bunda tau gak? Arsya bawa Alanka buat bunda. Katanya dulu, bunda pengen banget ketemu sama Alanka. Nah sekarang Alanka ada di samping aku Bun. Alanka sekarang lebih ganteng dari Alanka dulu loh Bun. Coba aja kalau bunda masih hidup, pasti bunda juga suka deh sama Alanka hehe," ucap Arsya di sela-sela air matanya yang kini semakin berderai.

"Bunda apa kabar? Tuhan pasti sayang bangetkan sama bunda kan? Bunda bahagiakan disana? Nanti kalau udah waktunya, kita pasti ketemu kok bun. Bunda tahan dulu ya kangennya.  Bunda tau ga? Arsya kangen banget tau sama bunda. Kangen dipeluk bunda, kangen dibacain cerita sama bunda. Kangen nasi goreng yang super duper enak buatan chef Yolla hehe. Kangen dipakein sepatu kalau Arsya kesiangan, kangen dikuncirin rambutnya sama bunda, kangen semuanya hiks. Arsya pengen peluk bunda, bolehkan kalau Arsya peluk bunda?" sambungnya lagi.

"Boleh kok sayang," ucap Arsya menirukan suara bundanya.

"Makasih bundaaa, sayang banyak-banyak deh buat bundaa." Arsya merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk memeluk gundukkan tanah di depannya dengan air matanya yang terus menerus menetas.

Tak hanya Arsya yang menangis, Alankapun ikut menangis. Pasalnya, terbilang delapan tahun sudah ia tak bertemu dengan bunda Yolla. Saat kesempatan membuatnya bertemu, bahkan pertemuannya kini telah berbeda alam.

Ia tak tega melihat gadis cantik di depannya yang masih setia memeluk gundukkan tanah dengan raut wajahnya yang dibanjiri air mata dan sedikit pasir menempel dipipi mulus Arsya. Alanka meraih pundak Arsya, membawanya dalam dada bidang miliknya. Kepalanya ia tundukkan hingga menempel dengan kepala milik Arsya.

Kurang lebih lima belas menit, keduanya terbuai dalam tangisan. Tak jarang juga Arsya selalu memanggil bundanya disela-sela tangisnya.

"Udah jangan nangis terus, nanti cantiknya ilang," ucap Alanka menenangkan, tangan kanannya mengelus sayang surau panjang milik Arsya.

"Kasian bunda kalo kamu nangis terus. Nanti bunda ikutan nangis disana Sya."

"Udah cupp, cupp, little fairy nya Alanka gaboleh nangis dong," sambung Alanka lagi, sesekali ia mengecup singkat kepala Arsya.

Arsya mendongakkan kepalanya, menatap lelaki tampan di depannya yang tengah menebarkan senyum manis padanya.

"Arsya mau ketemu bundaa hiks, kenapa bunda ninggalin Arsya sendirian di dunia ini? Kenapa gak ada yang peduli sama Arsya selain bunda? Kenapa Ayah gak pernah nemuin Arsya?" ujar Arsya sedikit sesegukkan. Tangan Alanka terulur untuk menghapus jejak air mata Arsya.

"Lihat aku Arsya, sekarang aku disini. Disamping kamu, mulai sekarang aku akan jadi sayap pelindung buat kamu Arsya. Kamu percayakan sama aku? I'm promise, I will make you happy my girl," tekad Alanka, lalu ia mencium pipi kanan dan kiri milik Arsya yang terbilang gembul.

Love in ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang