XXII

120 38 14
                                    

Lonceng tanda jam pelajaran berakhir telah berbunyi. Ratusan siswa SMA Bunga Bangsa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing.

Arsya berjalan pelan menuju gerbang sekolah. Wajah cantiknya menunduk, hingga tertutup rambut hitam panjangnya yang terurai.

"Arsya!"

Panggilan itu membuat Arsya menoleh. Kedua temannya, Azulla dan Avika menghampirinya.

"Kenapa?" timbal Arsya.

"Lu gak nyari Argen?" Azulla membalas.

"Ngapain? Males banget," jawab Arsya.

"Dia cowok lu ogeb, lu jadi cewek gak ada perhatiannya banget sih sama pacar sendiri," kritik Avika.

"Serah gue lah. Udahlah gue mau balik," pamit Arsya.

"Lu balik sama kita aja ya. Gue takut dimarahin Argen kalau ketauan gak jagain lu," kata Azulla sambil melirik Avika yang disebelahnya.

"Gue bukan anak kecil yang kemana-mana harus ditemenin," timbal Arsya.

"Lu ga bawa mobil Arsya, mending sama kita aja," ajak Avika.

"Thanks, tapi gue bisa pulang sendiri," ujar Arsya dan langsung pergi meninggalkan kedua temannya.

"Kalau ada apa-apa kabarin kita," teriak Azulla saat punggung Arsya terlihat jauh darinya. Namun, ucapan Azulla masih mampu terdengar oleh Arsya. Arsya pun mengangguk sebagai respon.

Arsya mengambil handphonenya yang ia taruh di dalam tasnya untuk mengecek taksi online yang sebelumnya ia pesan, namun ternyata di cancel.

Yap, ponsel Arsya yang tadinya ada di Argen, kini kembali kepadanya. Saat istirahat kedua tadi, Daniel seorang diri kembali ke sekolah hanya untuk mengantarkan ponsel Arsya atas suruhan Argen.

Hari sudah semakin larut, awan terlihat sedikit menghitam karena cuaca yang sepertinya akan turun hujan. Arsya memutuskan untuk berjalan kaki terlebih dahulu menuju rumahnya karena tak ada satupun bis yang berlalu lalang. Shitt! Kalau tau bakal kaya gini lebih baik ia tadi menyetujui tawaran Azulla dan Avika yang mengajak pulang bersama.

Arsya berlari dengan cepat menyusuri trotoar. Napasnya terlihat sangat memburu. Keringat mengalir deras membasahi tubuhnya. Sambil berlari, sesekali Arsya menoleh ke belakang, sedari tadi ia merasa ada yang menguntitnya.

"Tenang Arsya, gak ada yang ngikutin lu," batin Arsya.

Arsya memperlambat larinya. Ia lalu berjalan cepat melewati sebuah jalan kecil yang sebagian orang menganggapnya jalanan angker. Jadi tak salah jika sekarang jalanan ini terlihat sangat sepi tak ada seorangpun yang melintas selain Arsya seorang diri.

Jujur, Arsya sebenarnya sangat takut melewati jalan kecil ini, tetapi ia tak ada pilihan lain karena ini satu satunya jalan pintas tercepat untuk menuju rumahnya.

Saat Arsya kembali merasa lega karena tak ada yang menguntitnya, tiba tiba sebuah bayangan berkelebat di atasnya. Arsya menghentikan langkahnya dan berjerit histeris.

Aaaaaaaaaaa..

Seorang bertopeng kini menyerang Arsya dengan menggunakan pisau yang terlihat sangat mengkilap dan tajam. Arsya terkejut bukan hanya karena diserang tiba tiba, melainkan orang bertopeng ini sama seperti orang yang menghadangnya malam itu ketika bersama dengan kedua temannya dan mungkin orang bertopeng ini juga yang menyerang markas geng Argen.

Beruntungnya, saat SMP dulu Arsya pernah mengikuti ekstrakurikuler karate selama dua tahun. Dia berhasil menghindari serangan pertama pria bertopeng. Tetapi, karena mungkin ia sudah sangat kelelahan akibat berlarian, jadi Arsya tak melihat serangan berikutnya.

Love in ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang