XXIV

118 40 15
                                    

"Jangan di kamar, ke ruang depan aja ayo." Arsya meraih tangan Argen, membawanya agar keluar dari kamarnya.

Keduanya pun keluar dari kamar menuju ruang depan. Argen menyalakan televisi besar yang terpajang di atas dinding lalu mendaratkan pantatnya di atas sofa empuk berwarna merah keunguan. Tangannya meraih saku celana jeans hitamnya mengambil sebuah vape lalu menghisapnya.

"Lu mau minum apa?" tanya Arsya.

"Terserah," balas Argen singkat.

"Disini gak ada yang namanya minuman terserah Argen," sinis Arsya. Tubuhnya masih setia berdiri, tak ada niat sedikitpun untuk dirinya duduk di samping Argen.

"Adanya apa?"

"Air putih," balas Arsya menampilkan deretan gigi kecilnya yang putih bersih.

"Udah gue duga. Ambilin gue minum, sekalian sama makanan juga gue laper belum makan," pinta Argen.

"Lain kali jangan ke rumah gue, kalau niatnya mau minta makan," sarkas Arsya. Ia langsung meninggalkan Argen. Berjalan menuju dapur, dengan perasaan jengkel.

Argen tak menggubris ucapan Arsya. Pandangan matanya tetap fokus menatap layar televisi besar yang menampilkan spons dan bintang laut yang bisa berbicara. Kedua kakinya ia selonjorkan di atas meja besar didepannya, sedangkan kedua tangannya ia lipat di depan dada.

Arsya kembali membawa satu gelas air putih dan beberapa snack di atas nampan. Pandangan matanya memerhatikan Argen yang terduduk di atas sofa dengan kaki yang terangkat di atas meja. Shitt! Not have akhlaq sekali, pikirnya.

"Didikan siapa sii itu gak ada akhlak," sindir Arsya. Kakinya perlahan membawanya mendekat kearah Argen.

Bukannya mendapat jawaban, Arsya malah semakin dibuat kesal saat perkataannya di balas suara tawa dari cowo pemaksa di depannya ini yang sepertinya tengah asyik menonton film Spongebob.

"Ini tuan, makanan sama minumnya." Arsya berjongkok layaknya pembantu, menyimpan nampannya di atas meja besar samping kaki Argen.

"Makasih bi hahahaha," balasnya tanpa memalingkan pandangan matanya dari televisi.

Siall!! Apa katanya? Bi? Memang menyebalkan sekali sosok lelaki di depannya ini. Sudah bertamu, minta makan plus memperlakukannya seperti pembantu pula. Tunggu pembalasan gue Argen, batinnya.

"Duduk," titah Argen. Sontak Arsyapun langsung mendaratkan pantatnya di atas lantai yang sedari tadi ia pijak.

Argen menoleh ke arah Arsya yang terduduk di atas lantai. Shittt! Otaknya kelebihan rumus, jadi ngelagkan, batinnya.

"Ck, duduk di samping gue Arsya, bukan di lantai." ujarnya.

"Lu gak bilang." Ia bangkit dari posisinya, dan berlalu duduk di samping Argen.

"Bego," sinis Argen.

"Tapi lu cocok kalau jadi pembantu di rumah gue buat nemenin Bik Leli, mau?" tawar Argen.

Refleks Arsya mencubit pinggang kanan Argen cukup keras, hingga membuat sang empu meringis kesakitan.

"Dugong! Sakit anjir!" sarkas Argen, tangan kirinya mengusap pelan lengan kanannya yang kesakitan.

"Katanya general leader, dicubit gitu aja sakit huh payah banget," balasnya, Arsya memalingkan wajahnya dari Argen, berniat untuk menyembunyikan senyum tipisnya.

"Gue mau tanya."

"Apa?" Ia menoleh kembali menghadap Argen, memandangnya dengan tatapan sinis.

Love in ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang