Selepas hujan reda, aroma tanah menyeruak di perantara taman sebuah gedung yang dominan berwarna putih. Tidak ada yang tidak biasa disana, kecuali pada seorang gadis bermata hazel yang kian terlihat sepi. Gadis itu terdiam sebentar, memastikan agar jiwanya tetap berada di dalam raganya yang terasa bergemetar.
Di lantai dasar rumah sakit, Alisha memerhatikan aktivitas sekitarnya. Selalu sama seperti rumah sakit pada umumnya. Berbagai ekspresi manusia ada disana, pasien yang berjuang untuk sembuh dan dokter yang membantu menyembuhkan. Serta banyaknya keluarga yang berharap keajaiban datang pada orang tersayang mereka.
Satu pesan yang ia terima saat di sekolah tadi, mengantarkannya ke sebuah rumah sakit yang berada di tengah-tengah kota.
Alisha mendekat kearah resepsionis, ia tersenyum sekilas kala sang perawat menyapanya ramah.
"Sus, ruangan Melati 302 dimana ya?" Alisha bertanya, ia menghela nafasnya setelah mendengar suster tersebut akan mengeceknya terlebih dahulu.
"Ada di lantai 3 kak. Kakak naik lift aja langsung ke lantai 3 nanti langsung ke ruangan melati." Suster berkerudung biru dengan kisaran umur tiga puluh tahunan itu tersenyum hangat ketika Alisha mengucapkan terima kasih.
Di dalam lift, hanya ada Alisha seorang diri dengan wanita paruh baya disampingnya yang sedang memainkan ponselnya. Hening mengurung mereka dalam waktu yang tidak begitu lama. Alisha menyandarkan kepalanya pada dinding lift, baru sepuluh detik ia memejamkan mata pintu lift terbuka dan ia sudah sampai pada tujuan utamanya.
Papan kecil diatas pintu kaca dengan tulisan "Ruangan Melati" terpampang jelas ketika Alisha keluar dari lift. Alisha mendorong pintu itu, langsung disajikan lorong dengan beberapa kamar berjejeran. Ia berjalan pelan, mencari ruangan 302 yang ia yakinkan pasti ada disini.
Tidak jauh dari pintu masuk tadi, pintu dengan tulisan 302 itu menjadi pusat perhatian Alisha. Ia mendekat, memerhatikan pintu itu cukup lama sebelum dirinya masuk ke dalam. Dengan perlahan, ia memegang knop pintu itu. Mendorongnya pelan dan matanya langsung melihat seisi ruangan. Fokusnya hanya satu, pada seorang yang berbaring lemah di brankar dengan jarum infus di tangan kanannya.
Alisha mendekat, memastikan langkahnya tidak membangunkan tidur orang berbaju rumah sakit ini.
Disamping ranjang, Alisha memerhatikan wajah orang dihadapannya. Nafas nya nampak tenang, seolah inilah yang ia butuhkan dalam kurun waktu yang lama. Sebuah plester kecil tertempel di kening kirinya. Alisha mengusapnya pelan, hingga membuat sang empu yang sedang tertidur merintih kecil. Dengan sigap, Alisha mengelus tangannya lembut. Dan membuat rintihan kecil itu tidak terdengar lagi.
Wajah pucat pasi itu menggeliat tidak nyaman, ia memegang leher belakangnya seolah ada sesuatu disana. Lagi, ada bekas luka kecil yang Alisha lihat disana.
"Lekas sehat, Cella." Suaranya bergemetar, matanya terasa panas kala tiga kata itu terucap dari mulut nya, hingga mungkin satu tetes air mata sudah jatuh dipelupuk matanya.
Ternyata, diyakinkan seribu kali pun. Hatinya belum cukup kuat bertemu dengan orang terkasihnya. Ia masih sama, runtuh ketika melihat kehancuran Arcella.
***
Di ujung jalan menuju taman rumah sakit, Aksa menyempatkan dirinya ke kantin untuk membeli sebungkus nikotin. Wajah lelahnya tak membuat laki-laki itu beristirahat sejenak selepas maghrib tadi. Dengan menghisap rokok dan meminum segelas kopi, baginya sudah cukup karena itu bisa membuatnya lebih tenang dibanding tidur selama berjam-jam.
Di taman, ada area khusus untuk merokok. Aksa menempatkan dirinya disana dengan secangkir kopi di gelas plastik, dan rokok yang ia selipkan di sela sela jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
Teen FictionKita, hanyalah remaja yang seharusnya menikmati hari dengan tawa. Kita, diciptakan untuk memulai, bukan mengakhiri. Kita, adalah sebagian dari makhluk bumi yang mengharapkan kedamaian dari apa yang sudah terjadi. Sekuat apapun melawan, goresan lu...