Chap 40. Yang Bahagia Pun Bisa Terluka

6 2 0
                                    

"Its ok Al, semuanya bakal baik-baik aja."

Alisha menggigit bibirnya, merasakan getaran hebat yang kesekian kali mencoba menyelimuti hatinya. Kali ini bukan kekecewaan yang menghujani, tapi ucapan Aksa yang mampu membuatnya sedikit merasa tenang.

Bahkan, Alisha lupa kapan terakhir kali ia mendengar sebuah kata "semua akan baik-baik saja" selama bertahun lamanya. Alisha hampir tidak ingat siapa yang mengatakan ucapan seperti itu setelah semua ketidak baik-baikan saja menjelma di kehidupannya. Dan kali ini, Alisha mendengar itu semua dari seorang yang ia pikir begitu mencintai hidupnya sendiri.

Dengan jemari yang masih saling tertaut, mereka biarkan hangatnya menjalar ke permukaan hati yang menyimpan banyak luka. Seolah itu bisa sedikit mengobati walau mereka pun tahu, luka itu akan terus tersimpan sehebat apapun mereka melupakan.

Pukul dua pagi. Dua jam sudah mereka meratapi luka di taman rumah sakit. Lepas menghirup udara sedalam mungkin, lalu berteman hangat dengan sesak yang masih memeluk pilu. Rasa kantuk seolah bukan lagi hal yang menjadi kebiasaan malam. Bukan lagi sesuatu yang harus mereka lakukan kala merehatkan tubuh dari kekacauan hidup. Biarkan kali ini mereka menikmati malam tanpa harus merasakan tidur. Lantas sedikit berbicara dengan diri dan semesta, bahwa tak mengapa untuk sesekali menangis di perantara sepi, memulihkan hati diantara sunyi, dan mengobati luka di tengah gelapnya langit.

"Sa..." Panggilnya pelan. Mereka mulai melepaskan tautan jemari, kembali bebas memeluk diri sendiri.

Aksa menjawab dengan gerakan kepalanya, seolah itu mampu membuat Alisha mengerti.

"Kenapa lo terus di rumah sakit..?"

Aksa tersenyum samar. Dalam benaknya ia tahu bagaimanapun kondisinya, Alisha akan tetap bertanya tentang ini. Maka sejauh apapun ia mencari alasan, akan ada waktu dimana semua orang tahu kebenarannya.

"Jaga cinta pertama gue."  Ucap Aksa tenang. Tak ada beban dalam ucapan itu, seakan ia siap menerima semuanya.

Keingintahuan Alisha seakan redup seketika. Alisha tahu, ia bukan siapa-siapa. Tapi cinta pertama yang Aksa katakan jauh melebihi dugaannya. Alisha hampir saja tidak percaya, Aksa mengatakan itu setelah menggenggam jemarinya.

"Oooh.."

"Lo mau tau siapa cinta pertama gue?"

Diantara city light Jakarta yang membentuk indah tiada tara, menampilkan kesan kota seperti kebanyakan negara, Alisha mengangguk ragu. Lantas setelah itu Aksa langsung menarik lembut pergelangan tangannya. Membawanya keluar dari taman rumah sakit, menyusuri lorong demi lorong yang terlampau sunyi. Karena sebagian dari keluarga pasien yang menunggu memilih tertidur dengan harapan keajaiban akan datang, esok hari.

Hingga setelah keluar dari lift, mereka tiba di depan pintu sebuah ruangan VIP.  Yang jaraknya tidak jauh dari ruangan yang akhir-akhir ini sering Alisha kunjungi. Hatinya meremuk, nyatanya ia dan Aksa sering berada di tempat sama dengan harapan yang sama pula. Tapi untuk kali ini, Alisha tidak seperti Aksa yang terus menerus ada disini. Menunggu orang terkasihnya lekas pulih seperti sediakala. Orang terkasih Alisha, telah kembali ke rumah setelah tiga minggu ada disimi meski Alisha tahu akan ada masanya orang terkasihnya kembali lagi kesini. Mengobati lukanya yang tak akan pernah sembuh.

Aksa menarik napasnya berat. Alisha bisa mendengar itu, maka dengan keberanian yang cukup ia mengelus pundak Aksa. Berharap usapan itu bisa menjadi kekuatan walau hanya sebesar semut yang bahu membahu membangun peradaban mereka. Maka dalam ketenangan ruang rumah sakit, Aksa membuka knop pintu berwarna coklat. Aroma khas obat-obatan seketika menjamah hidung mereka, sudah tidak asing lagi bagi Aksa yang menganggap ruangan ini sebagai rumah keduanya.

Di depan Alisha, cinta pertama yang Aksa maksud sama sekali bukan seperti yang di pikirannya. Bukan seorang wanita muda cantik dengan wajah pucat yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Bukan juga seorang wanita sebayanya yang tersenyum hangat saat Aksa datang menemuinya. Tapi melalui netranya yang tidak mungkin salah, Alisha melihat seorang wanita paruh baya tampak tertidur pulas di brankar rumah sakit. Matanya terpejam, dengan deru napas yang samar terdengar tenang.

"Ini cinta pertama gue Al, nyokap gue." Lirih Aksa. Ia mengusap pelan rambut wanita itu yang tatkala terlihat memutih. Harapnya, usapan itu mampu membuat ibundanya bangun dari tidur yang sudah terlalu lama. Poselen tubuhnya mengkerut, termakan oleh waktu berkepanjangan di brankar rumah sakit. Kelopak matanya tertutup rapat, irama napasnya berjalan tenang bak air sungai mengalir di kedamaian pagi,  seakan itu semua memberitahukan bahwa baginya tidur berkepanjangan adalah jalan yang terbaik.

"Nyokap gue koma, tiga tahun."

"Sampai kapanpun gue akan menunggu nyokap gue untuk kembali melihat dunia. Bahkan disaat orang-orang bilang kalau nyokap gue gaakan pernah bangun." Masih mengusap lembut sorai milik ibundanya, harapan itu masih ada, membara di netranya yang terus memandang wajah tua yang amat dicintainya.

Ibunya akan sembuh. Ibunya akan kembali tertawa. Doa sederhana itu tidak pernah putus setiap hari, bahkan selalu memenuhi sebagian isi kepala Aksa.

Dan Alisha, kali ini ia menyadari banyak hal. Sebagaimana Tuhan menciptakan banyaknya manusia, bukan hanya rasa bahagia, akan selalu ada kesakitan disetiap perjalanan hidup manusia.

Bahwa nyatanya, Aksa telah membohongi dirinya sejauh itu. Bahwa sesuatu yang Alisha lihat tentang Aksa, adalah kepalsuan yang selama ini ia dan semesta tutupi. Aksa tidak benar-benar bahagia, semuanya hanya untuk menutupi luka yang terlanjur terikat kuat di hatinya.

***


Hidupnya sudah terlanjur mencintai minuman berkafein. Sesering apapun lambungnya minta diperhatikan, Alisha akan tetap menikmati kopi kecintaannya bertemankan aromanya yang menggugah selera. Bagi Alisha, Coffe Latte adalah minuman terenak sepanjang masa. Rasa manis dan pahit bercampur satu serta paduan susu dengan kopi membuat minuman itu menjadi bintang utama di hatinya.

Seperti hal nya sore ini yang Alisha lakukan. Di sebuah keramain Jalan Puri Indah bertema langit senja yang hampir tiba. Alisha masih dengan seragam sekolahnya sedikit demi sedikit menyesap coffe latte hampir menyisakan setengahnya.

Ia memang selalu sendiri di tempat ini, sama dengan halnya sekarang. Namun, sesekali netranya melirik ke arah Mc Donald yang mana disana ada Aksa dan kawan-kawannya. Menikmati satu porsi panas special di depan restoran cepat saji itu. Dari kejauahan, Alisha melihat tawa mereka meledak meski tidak terdengar. Entah apa penyebabnya, tapi seruan itu menandakan bahwa bahagia itu sederhana memang nyata adanya.

Alisha hampir tidak percaya. Bahwa yang ia lihat di depannya adalah Aksa yang semalam bersamanya. Laki-laki itu teramat pandai membohongi dirinya sendiri. Tingkahnya menjadi objek yang menciptakan tawa dari sudut bibir yang berusaha melupakan lara. Aksa melakukan apa saja, apa saja yang bisa membuat dirinya dan orang lain bahagia. Seperti halnya kali ini, meski sedang menikmati makanannya, ia masih saja melakukan bualan sederhana sampai tawa teman-temannya samar Alisha dengar.

Laki-laki itu melupakan satu hal, bahwa hidupnya yang terlihat bahagia dan tanpa beban adalah kepura-puraan dari ketidak baik-baikan saja yang sudah lama menjadi teman hidupnya. Itu semua hanyalah penyamaran untuk membentuk karakter yang sudah lama mati dalam dirinya.

Warna jingga yang menjadi lukisan indah Jakarta sore ini. Juga ramainya sekitaran Puri indah selalu menjadi candu bagi Alisha yang selalu sendiri diantara keramaian. Berbalut hangatnya kebersamaan dengan kesederhanaan yang melengkapi. Membuat Alisha tidak akan pernah meninggalkan tempat ini. Sekali lagi, ia melirik kearah Aksa dan teman-temannya. Masih sama seperti tadi, bercengkrama dengan segala tingkahnya.

Bagi Alisha, Aksa adalah bukti bahwa yang bahagia pun bisa terluka.

KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang