Pintu ruangan berwarna coklat gading itu terbuka secara perlahan, menampakkan dua orang yang berbeda baru saja keluar dari ruangan itu. Kedua orang itu tidak langsung pergi, melainkan saling diam bertopang di sisi tembok dengan fikiran yang sepertinya sedang berkelana kemana-mana. Entah apa yang ada di fikiran dua orang itu, nampaknya mereka asik berdiskusi dengan dirinya masing-masing.
Dan kedua orang itu, Aksara dan Alisha. Bukan seperti kucing dan tikus seperti biasanya, detik ini pula mereka seperti air yang mengalir tenang tanpa riak sedikit pun. Dan Tanpa mereka sadari, hari ini mereka terlihat bukan seperti Alisha dan Aksara yang selalu bertengkar karena tawuran waktu itu.
Menjadikan tembok sebagai sandarannya, ia memikirkan semua hal yang kemungkinan akan terjadi. Sejak dulu, ia berusaha keras membuat semua orang dan semua element bangga padanya. Namun, sejak dulu pula ia berusaha melindungi dirinya sendiri dari kejaran ingatan.
Memejamkan matanya secara perlahan, tidak sampai lima menit ia membuka matanya kembali setelah menetralkan diri. Bayangan tentang masa depan yang telah ia rangkai kini semakin terbuka lebar, hanya tinggal selangkah untuk mencapainya. Namun disisi lain, cerita lama yang pernah ia alami mampu membuatnya merasa ciut seketika. Tak ada yang tahu, hanya dirinya dan ingatan tentang masa lalunya lah yang tahu itu.
"Lo kenapa nerima tawarannya?"
Sang empu yang ditanya tidak memberi jawaban, ia malah mendaratkan bokongnya di kursi yang di sediakan. Yang bertanya pun tidak bertanya kembali karena pertanyaan pertamanya tidak mendapat jawaban. Ia tahu apa jawabannya, tinggal menunggu sang empu yang ditanya mengeluarkan suara.
"Karena gue pengen banggain sekolah gue."
Alisha tersenyum miring, "Itu alesan yang terlalu umum, semua orang pasti pengen banggain sekolahnya."
Melirik pelan, Aksa memperbaiki posisi duduknya agar lebih tegak. "Emang itu kok alesannya, lo ga liat apa banyak piala olahraga yang gue borong." Ucapnya, berniat membanggakan dirinya sendiri.
"Cuma ikut basket aja bangga."
"Heh walaupun cuma basket tapi gue udah berhasil borong piala lebih dari sepuluh ya!." Katanya tidak terima.
"Terus, kenapa awalnya lo nolak?"
Aksa diam sebentar, memikirkan jawaban yang tepat agar tidak melesat ke arah yang lain sedikit pun. "Karena gue males, gue ga terlalu jago bulutangkis."
"Dan gue lebih males partner gue itu lo!" Kata Alisha blak-blakan.
Aksa yang mendengar itu jelas tak terima. Ia pun sama malasnya dengan Alisha. Bisa-bisa saat ia sering berlatih bareng dengan Alisha, Alisha akan terus melaporkan tawurannya pada guru bk.
"Lo pikir lo doang yang males, gue juga ogah kali!"
Alisha tidak menjawab melihat kilat marah Aksa, ia hanya memalingkan wajahnya sinis. Alisha menyampirkan tas yang sedari tadi ia dekap. "Gue balik duluan, bye." Pamitnya, berlalu begitu saja membiarkan Aksa sendiri di tempat itu.
"EH ANJIR LO ALISHA!" Teriak Aksa, mengejarnya dan mendahului Alisha yang sedang berjalan dengan santai.
Nyata nya, kedua orang itu akan terus menjadi kucing dan tikus. Yang tidak pernah akur ketika bertemu, dan hanya akan saling diam ketika sesuatu ingatan menggagu mereka. Dan tanpa mereka sadari, mereka yang awalnya tidak saling kenal, kini sudah sedekat ini.
***
Kaki jenjangnya melangkah gontai agar segera keluar dari area sekolah. Alisha tidak ada bersamanya selepas Aksa berlari mendahului Alisha. Yang jelas, Alisha pergi berlawanan arah dengannya. Entah kemana perginya gadis itu, sekarang Aksa tidak berniat mengikutinya lagi seperti waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
Teen FictionKita, hanyalah remaja yang seharusnya menikmati hari dengan tawa. Kita, diciptakan untuk memulai, bukan mengakhiri. Kita, adalah sebagian dari makhluk bumi yang mengharapkan kedamaian dari apa yang sudah terjadi. Sekuat apapun melawan, goresan lu...