"Ibu udah bukan siapa-siapa lagi di hidup Kania, jadi silahkan pergi."
Bagian paling menyedihkan dalam perjalanan hidup adalah tidak lagi dianggap ada oleh orang yang tersayang. Seperti burung burung gereja yang berterbangan karena tidak mendapatkan tempat untuk singgah, Bu Cinta dipersilahkan untuk tidak hadir kembali dalam hidup Kania.
"Rasa sayang ibu sama kamu bukan cuman sekedar guru sama murid, tapi lebih dari itu Kania."
Salah satu kesempatan paling berharga di dalam hidup Bu Cinta adalah ia bisa bersitatap kembali dengan Kania. Melihat lagi wajah manis gadis itu... hatinya mencelos tatkala tatapan dari lembut mata Kania sudah berubah. Kanianya bukan lagi gadis manja yang setiap bertemu dengannya selalu ingin dipeluk, Kanianya yang sekarang adalah Kania yang tidak ia kenali...
"Tolong pergi bu.."
Tanpa berniat untuk memandang Bu Cinta, kalimat itu terlontar kembali dari mulutnya yang seolah ia tidak tahu dengan siapa berbicara.
"Tolong jangan kayak gini, Kania.." Entah yang ke berapa kali ia memohon, rasanya tidak juga meluluhkan hati gadis ini.
Kania menghembuskan nafasnya kasar, segala macam cara yang dilakukan Bu Cinta tidak sedikitpun menggerakkan hatinya untuk setidaknya menerima Bu Cinta kembali. Andai saja bisa digambarkan oleh pena hitam di suatu kertas berwarna putih, amarah dan rasa kecewa Kania bagai asap hitam yang menutupi suatu pulau berpenghuni di tengah lautan. Asap hitam itu seakan mengusir penghuninya untuk pergi, dan tidak mempersilahkannya untuk kembali. Sebuah deskripsi kecil untuk menggambarkan hati Kania yang sudah diliputi oleh kemarahan. Entah bagaimana cara untuk menyembuhkannya, ia hanya butuh waktu yang lebih lama lagi untuk bisa menerima jalan hidupnya yang sudah dikehendaki oleh Tuhan.
"Kalau kamu ngerasa semua orang jahat, kamu salah." Ujar Bu Cinta, meskipun kerap kali Kania memintanya untuk pergi.
"Kania, kamu nggak salah dan Alisha juga nggak salah." Dari nadanya berbicara, Bu Cinta seolah sedang menyatukan dua jiwa yang sudah terlampau jauh saling menyakiti. Dua jiwa yang terporak porandakan karena badai yang tidak kunjung usai hingga membuat mereka tersesat dan sulit untuk tidak kembali.
Ada satu titik di mana Kania ingin dimengerti sepenuhnya, ada satu harapan di mana seseorang dapat mendengarkan ceritanya, dan ada satu keinginan di mana Kania bisa dipahami tanpa harus dihakimi. Alasan apapun Bu Cinta mengakatan itu, Kania tidak ingin memahaminya. Untuk saat ini hingga nanti ia menerima semuanya, Kania hanya ingin dimengerti.
"Kalau ibu datang jauh-jauh ke sini cuman buat bilang itu, mending ibu pergi aja. Kania gak butuh itu semua." Kania menunduk, memainkan ujung sepatunya sebagai bentuk pelampiasan agar air matanya tidak jatuh.
"Kamu harus bisa menerimanya, nak."
"Kania mau dingertiin dulu bu, baru Kania bisa nerima sama semuanya." Getaran di suaranya tidak bisa terbantahkan, semua orang yang mendengarnya tau bahwa Kania sedang berusaha menahan tangis.
Ada sesuatu yang menyentak hati Bu Cinta, sesuatu tidak kasat mata yang membuat hatinya terasa mencelos. Keringat diujung dahinya hampir saja jatuh bersamaan dengan air matanya yang menetes ke pipinya.
"Setiap ketemu orang yang Kania kenal, semuanya sama aja bilang Kania harus bisa nerima." Kania bersuara, ia tidak mampu lagi menahan semua gejolak marahnya yang menggebu. Jika ada kesempatan, Kania ingin berteriak kepada semua orang, memaki dan mengatakan bahwa ia sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan.
Kania menatap ke arah langit, karena meskipun hidupnya gelap seperti tak menemukan cahaya, seperti ia akan membuta selamanya, nyatanya dunia berjalan masih sama seperti biasanya, langit biru, burung berterbangan dan terpaan angin yang dengan tenang membelai wajah dan memberikan kedamaian. Dalan harapannya yang ia gantungkan diujung langit sana, Kania memohon pada semesta dan seisinya karena barang kali kali ini ia dimengerti oleh seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
Teen FictionKita, hanyalah remaja yang seharusnya menikmati hari dengan tawa. Kita, diciptakan untuk memulai, bukan mengakhiri. Kita, adalah sebagian dari makhluk bumi yang mengharapkan kedamaian dari apa yang sudah terjadi. Sekuat apapun melawan, goresan lu...