"Kak Cella..."
Tidak mendengar jawaban dari sang empu. Alisha memanggil namanya lagi. Padahal sudah jelas ia tahu, kakaknya tidak akan pernah menjawab ucapan Alisha.
Lalu dengan langkahnya yang bergetar. Perlahan-lahan Alisha menaiki tangga yang dipenuhi banyak debu. Hingga setelah ia tiba di lorong rumah, berhenti tepat di depan salah satu pintu yang tertutup rapat. Ia mulai berjalan ke depan pintu itu, membukanya sebisa mungkin tanpa bersuara.
Tepat di hadapannya, di balik pintu itu, sebuah kamar usang dengan kondisi yang sepertinya tidak pernah dirapihkan cukup mencelos hatinya. Debu-debu nampak saling berterbangan, masuk ke indra penciuman siapa saja yang menghirupnya. Lampu yang tidak dinyalakan, lantai yang terasa kasar dan kotor, juga gorden yang tidak pernah dibuka sehingga kamar ini selalu gelap. Nyaris seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.
Kamar ini tidak kosong. Ada tuannya yang setia mendekam disini selama bertahun-tahun lamanya. Tuannya yang masih terjebak dalam jeruji kehilangan, dan tuannya yang sudah tenggelam dalam palung tergelapnya.
"Kak Cella..." Sudah tiga kali Alisha menyebut nama itu. Tapi tetap tidak ada jawaban.
Jika tadi ia memanggil Arcella namun belum melihat sosoknya. Tapi sekarang, Alisha bisa melihat kakaknya yang sedang meringkuk diatas sepi. Memeluk tubuhnya sendiri diantara luka yang tak kunjung pergi.
Lalu ia mendekat ke arah Arcella.
Arcella menatap ke arah Alisha dengan pandangan yang amat terlihat kosong. Perlahan, ia membelai lembut wajah adiknya. Menghapus air mata yang membasahi pelupuk dan pipi lembut milik adiknya. Tapi setelah itu, ia kembali dalam lamunannya yang panjang.
Dalam kondisi seperti ini. Ketika Arcella sudah tidak mampu untuk berdiri lagi. Ketika Arcella tidak bisa menyembuhkan lukanya. Tapi dengan segenap rasa cinta dalam dirinya, dengan ketulusan yang masih tersimpan di hatinya. Arcella tetap berusaha untuk menggapai Alisha, membelai wajah dan menghapus air mata Alisha adalah bukti bahwa tidak mengapa ia merasakan luka dan kesakitan berkepanjangan yang belum mampu untuk ia lawan. Seolah Arcella berbicara kepada Alisha lewat belaian kasihnya bahwa dirinya baik-baik saja tenggelam dalam luka lama yang sulit disembuhkan, bahwa dirinya merasa amat senang hidup dalam masa lalu yang seharusnya sudah ditinggalkan. Tak mengapa, Arcella bahagia hidup dalam rumah imajinasinya.
Namun di lain sisi, di suatu titik bagian tergelapnya. Arcella akan menangis sekencang-kencangnya dan merusak semua barang disekitarnya ketika bayangan tentang keluarganya yang hancur masuk dalam imajinasinya yang bahagia. Lantas merusak semuanya, membuat kekecewaan yang terpendam hampir saja membunuh dirinya sendiri.
Di sisi yang membuatnya bahagia, Arcella banyak menciptakan imajinasinya yang baru. Namun disisi yang kelam, Arcella akan berbuat apapun untuk melampiaskan itu semua.
" Kak Cella..." Empat kali Alisha memanggil nama itu.
Detik ini pula, Alisha melihat utuh wajah kakaknya. Matanya sayu, seperti tidak pernah tidur dalam waktu yang cukup. Badannya kurus kerontang, seperti tidak pernah makan dengan waktu yang teratur. Rambutnya seperti tidak pernah mengenal shampo di sepanjang hidupnya. Kulitnya terlihat kering karena tidak pernah mendapatkan perawatan yang cukup. Juga di bagian telapak tangannya yang terlihat banyak luka. Arcella nampak seperti manusia yang pulang dari dunia perasingan. Yang satu-satunya tersisa dalam dirinya hanyalah pada bola matanya. Mata Arcella masih sama seperti dulu. Tulus. Tatapannya selalu terlihat tulus di tengah kondisinya yang memprihatinkan.
"Kak Cella.. aku kangen." Lirih Alisha nyaris seperti bisikkan.
Arcella mengangguk datar. Ia tahu. Jika bisa, ia ingin mengajak Alisha masuk ke dalam imajinasinya. Menyelami dunianya dengan keharmonisan keluarga yang memabukkan. Lalu mereka hidup dengan kedamaian tanpa sang penggoda yang menghancurkan. Jika bisa, Arcella ingin melakukan itu. Bersama adiknya, satu-satunya paling berharga miliknya. Namun Alisha tidak segila dirinya. Alisha memilih untuk menghindari semuanya. Mencoba berdamai dengan keadaan walau akhirnya ia juga yang terkutuk dalam kesakitan yang memberontak. Bukannya bisa melupa, Alisha justru terbelenggu dalam masalah yang belum sempat diselesaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
Teen FictionKita, hanyalah remaja yang seharusnya menikmati hari dengan tawa. Kita, diciptakan untuk memulai, bukan mengakhiri. Kita, adalah sebagian dari makhluk bumi yang mengharapkan kedamaian dari apa yang sudah terjadi. Sekuat apapun melawan, goresan lu...