Chap 42. Pilu Yang Paling Menyakitkan

15 1 0
                                    

Tidak sampai hitungan detik, tubuhnya sudah diserbu ribuan air hujan tanpa permisi. Berkali-kali ia mengusap wajah hanya untuk menghilangkan jejak hujan yang menyapu wajahnya.

Dahulu jika hujan turun, dengan segenap kebahagiaan yang mendebarkan jiwa. Alisha akan langsung menyambut air tuhan itu dengan selayaknya. Tanpa diskusi dengan tubuhnya, Alisha berlari di tengah hujan. Menikmati satu persatu tetes air yang sepertinya akan mengantarkan sakit, namun banyak memberi kebahagiaan sederhana.

Detik ini pula. Tanpa disaksikan oleh siapapun. Alisha dan Kania persis berada di tengah lapangan. Keduanya sudah dalam keadaan basah kuyup. Tak peduli sedingin apapun udara yang diciptakan hujan. Nampaknya hujan pagi ini akan menjadi saksi betapa beratnya rindu Alisha, dan betapa bencinya Kania pada Alisha.

"Lo mau apa Kania?" Dengan tubuh yang sedikit bergetar menahan dingin, Alisha bertanya sembari sedikit memeluk tubuhnya.

Tapi setelah beberapa menit ia menunggu Kania menjawab. Perempuan itu tak sedikitpun membuka mulutnya untuk sekedar menjawab. Yang Kania lakukan hanyalah menatap Alisha. Tatapan itu.. Selalu dingin, seakan menyiratkan banyak hal tidak terduga.

"Al... "

Pada Akhirnya Kania akan tetap bersuara. Beda dari biasanya, kali ini suaranya bergetar dengan tempo yang lambat. Alisha bisa merasakan bahwa suara itu sangat berbeda dari yang kemarin. Jika kemarin suaranya selalu terdengar seperti memendam marah berkepanjangan. Tapi sekarang, suara itu seperti endapan air yang terjebak dalam kemarau panjang. Terjebak dalam gua yang tidak pernah dijamah manusia dan sekitarnya, dingin di tengah panas, dan hampir rapuh kala matahari menyongsong pelindungnya. Alisha seperti dibawa ke masalalu, dimana pada saat mendengar suara Kania yang seperti ini, ia akan memeluk Kania.

"Gue benci lo."

"Gue tau." Pada akhirnya memang seperti ini. Alisha tahu itu, sampai kapanpun tiga kata itu adalah kata yang memang pantas untuknya.

"Gue pengen lo mati Al."

Ucapan itu nyaris tidak meninggalkan segala bentuk lukanya. Kali ini Alisha tidak menunduk. Dengan keberaniannya yang ia paksakan, Alisha menatap Kania yang terus berkata bahwa ia benci padanya. Alisha menatap Kania, apalagi pada sepasang mata dingin yang sangat ia rindukan.

"Tapi kenapa lo ga mati-mati Al!"

Suara Kania meninggi. Ia mencengkram lengannya sendiri hanya untuk menyalurkan segala bentuk kemarahan yang tidak pernah didengar. Marah yang selalu ia teriakkan namun banyak yang memilih untuk bisu. Dengan menggunakan segala kesempatan, detik ini pula Kania akan berteriak kencang dan membalas segala kesakitannya selama ini. Jika memang ia harus dibenci banyak orang untuk membenci satu orang. Kania akan lakukan. Apapun itu untuk melindungi dirinya sendiri.

"Karena belum waktunya gue mati."

Di tengah hujan yang masih deras. Alisha berkata dengan getaran di tubuhnya. Bukan hanya karena dingin yang menyelimuti, tapi karena perasaan yang ia kubur sedalam mungkin di hatinya seakan hidup kembali. Berjalan diatas lapisan es tipis dalam dirinya, lalu menariknya ke dalam jurang ingatan yang berkali-kali Alisha coba untuk lupakan.

Hingga tanpa bisa menyeimbangi dirinya. Alisha merasakan tubuhnya terpelanting ke lapangan basket yang penuh dengan jejak hujan. Kania mendorongnya dengan gertakan gigi yang mampu Alisha dengar meski hujan masih setia mengguyur bumi.

Sedikit merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, namun itu semua tidak sebanding dengan kesakitan hatinya yang bahkan Alisha sendiri tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya.

Alisha mengedahkan kepalanya demi menemukan sepasang mata Kania yang menatapnya nyalang. Tubunya sama bergetar seperti dirinya, seperti menahan sesuatu yang tidak pernah diketahui banyak orang.

KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang