Chap 18. Bi Roh, Kesayangan Semua

3 1 0
                                    

Gelak tawa dan hangatnya dialog pertemuan terdengar jelas melalui perbatasan gerbang menjulang di sebuah perumahan elite Jakarta. Parkiran yang luas kini dipenuhi oleh kendaraan roda empat yang siap menikmati malam mereka dengan kebersamaan. Meski ini sudah malam, tapi tak menutup kemungkinan mereka untuk menyudahi acara yang jarang sekali diadakan ini.

Diluar gerbang kokoh sang pemilik rumah, tepatnya di sebuah jalan aspal perumahan dengan kemerlip lampu perumahan yang menjadi payung malam tanpa bintang ini. Ada seseorang yang sedari tadi mendengar setiap suara banyaknya orang di rumah bernuansa Eropa Klasik ini. Suara-suara yang dulu sangat ia kenali dan dengar setiap hari, kini nampak asing walau terdengar langsung di gendang telinganya. Bukan, bukan suaranya yang asing, tapi pemilik suara yang bahkan sudah tidak pernah ia temui lagi beberapa tahun belakang ini.

Ia berada di atas motornya, helm full face nya masih ada di kepalanya, matanya memandang lurus ke jalanan yang sedikit basah lantaran gerimis di sore tadi. Ia tak berniat untuk turun, apalagi bergabung dengan orang-orang yang ada di dalam sangat mustahil untuk ia lakukan. Meski dering telfonnya terus berbunyi ia tetap diam, hatinya masih keras untuk melihat wajah-wajah yang kian berbeda.

Gerbang bercat hitam itu terbuka, menampakkan seorang laki-laki paruh baya dengan kemeja hitam yang digelung hingga siku itu memandangnya dengan sorot yang tak terbaca. Ada kerinduan di bola matanya yang sudah merabun. Ditambah rambutnya yang hampir memutih, dan keriput yang tergambar jelas di setiap wajahnya membuat hati orang dihadapannya terasa terguncang.

Tangannya bergetar hebat, ingin memeluk tapi keras kepalanya mengalahkan itu semua.

"Masih belum mau masuk?" Tanya pria itu. Kelembutan disetiap perkataannya masih belum mampu meluluhkan hati pemuda berusia delapan belas tahun ini.

Ia tetap diam, lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan satu kalimat pun. Bukan apa, ia masih takut lidahnya tidak sinkron dengan otaknya sehingga akan menyakiti pria tua dihadapannya ini.

"Nak?" Tanyanya lagi. Meskipun pemuda ini memakai helm pria paruh baya ini masih bisa melihat kedua mata laki-laki itu yang mengerjap begitu cepat. Sorot matanya terlihat kosong, sudah dipastikan ia sedang menahan mati-matian egonya.

Tidak berniat menjawab, dan tanpa mengucapkan sepatah kata ia menyalakan motornya, pergi begitu saja tanpa satupun kalimat kerinduan. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela nafasnya, ia memerhatikan punggung yang sudah menjauh dengan sesak yang sedikit menghatam dadanya.

Aksara sudah dewasa, pikirnya.

****

Sore ini, langit ibukota tidak secerah biasanya. Sejak hujan setengah jam lalu, mendung sudah mendominasi langit ibukota yang biasanya terik. Bersyukurlah hujan kali ini sepertinya tidak menyebabkan banjir.

Tapi, cuaca seperti ini adalah cuaca yang Alisha suka dan Alisha tunggu-tunggu. Udara yang dingin, langit yang mendung, dan keadaan sekitar yang basah karena jejak hujan membuat Alisha merasakan nyaman berlebih.

Sedikit merapatkan sweater jingganya, Alisha keluar dari lingkungan sekolah yang sudah mulai menyepi. Ia menghirup udara dalam-dalam, biasanya jika tidak hujan ia tidak bisa menghirup udara sembarangan lantaran polusi udara yang sudah mendominasi.

Di detik yang sama namun di tempat yang berbeda tepatnya di warung belakang sekolah. Para murid laki-laki kesayangan guru bk sekolah kini sedang asik bermain air seperti anak kecil yang baru pertama kali mengenal hujan. Tanpa seragam sekolah hanya menggunakan celana panjang milik masing-masing, dengan keadaan diri yang sudah basah kuyup, mereka sedang mencuci motor mereka dengan air hasil dari hujan yang ditampah bak besar oleh Bi Roh.

KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang