Bagian paling menyakitkan dalam hidup adalah merasakan kembali luka yang seharusnya sudah dilupakan. Memupuk potongan kesedihan itu dalam suatu bentuk bernama ikhlas.
Diantara sayup-sayup kesedihan menjelma menjadi suatu hal yang menyakitkan. Di bawah langit yang sudah tidak diguyur hujan, hanya sisa dingin yang masih memeluk tubuh. Ali allsha dan Kania masih berada di tempat yang sama. Mereka saling menatap satu sama lain. Menyelami netra yang banyak menyimpan luka. Mencoba mencari titik dimana rasa tenang ada di tengah-tengah jurang kegelapan yang tertanam di hati. Menelan semua kepahitan yang dialami tanpa ada yang tahu, adalah hal paling sulit bagi mereka yang tidak punya teman bercerita.
"Kania, kalau lo terluka. Gue lebih dari itu." Lirih Alisha setelah hening menguasai suasana pagi.
Lalu tanpa pamit Alisha meninggalkan tempat itu. Kania memandangnya sayu. Jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, ada setitik perasaan rindu terhadap Alisha. Tapi dibanding itu semua, rasa sakitnya jauh melebihi apapun termasuk tentang rasa rindu.
Lalu setelah keheningan menjadi bagian dalam beberapa waktu. Setelah melihat sosok Alisha yang mulai menjauh dari jangkauan. Tak lama Aksa pun ikut melangkah pergi. Membiarkan Kania yang larut dalam lamunannya, dan Raza yang memandang Kania dengan pandangan yang sulit diartikan.
Pandangan itu... Banyak menyiratkan arti yang bahkan tidak bisa dideskripsikan melalui kata. Ingin rasanya Raza memeluk Kania, menggenggam tangannya, lalu membisikkan kata demi kata yang bisa meyakini bahwa Kania tidak sendirian. Masih ada dirinya, yang akan menemani Kania bahkan ketika seisi dunia mengacuhkannya.
Kania yang dulunya adalah gadis paling manja kini mengubah dirinya menjadi seorang keras kepala, juga pecundang yang ingin diperhatikan. Bukan tanpa alasan, sulit rasanya mengubah hidup yang semula baik-baik saja tapi harus hancur berserakan bahkan nyaris mematikan.
"Alisha jahat." Isak nya tertahan.
Secara perlahan, Raza merengkuhnya erat. Mengelus bahu Kania dengan penuh sayang, membiarkan derai tangis jatuh dari pelupuk mata Kania.
"Kita semua jahat, Kania. Alisha juga ga mau kaya gini, dia korban." Bisik Raza selembut mungkin. Karena pada dasarnya, Kania hanya ingin mempunyai teman dalam bercerita, menjadikannya tempat berpulang ketika hidupnya harus berubah. Namun nyatanya, dua orang sahabatnya yang seharusnya menjadi rumah untuk Kania, menghapus air mata ketika Kania sudah tak bisa menanggungnya lagi. Nyatanya mereka juga menjadi bagian orang yang membuat Kania menjadi sehancur sekarang.
Jangan salahkan mereka. Tidak ada yang ingin seperti itu. Namun apalah daya ketika Tuhan sudah menuliskannya untuk menjadi takdir mereka.
"Maafin gue, maaf karena udah ninggalin kalian berdua. Maaf karena gue memilih pergi dibandingkan nyelesaikan semuanya."
Raza memeluk erat tubuh Kania. Rasa sesal yang pernah ia lupakan kini seolah menguasai dirinya. Memaksanya untuk kembali menerima semua yang sudah digariskan untuknya.
Lama sekali Raza memeluk Kania. Yang awalnya Kania seolah berontak tak ingin dipeluk, tapi seakan melupakan egonya yang terlampaui tinggi, Kania akhirnya luruh dalam pelukan Raza. Satu kekuatan yang Kania butuhkan, pelukan yang pernah ia cari, sekarang perlahan ia dapatkan.
"Semua orang benci gue Raza. Gue jahat dan gue sering dihakimi. Padahal gue juga gak mau kayak gini, tapi sakit hati yang gue rasain lebih dari apapun."
Ucapan yang nyaris seperti bisikan dengan sedikit isakan tangis itu terdengar sakit dan penuh sesak. Nyatanya, jauh di dalam dirinya Kania tetaplah menjadi gadis manja yang ingin diperhatikan, gadis manja yang tiba-tiba dihadapkan dengan permasalahan luar biasa gang merajai hidupnya. Dirinya sendiri, dikuasai oleh rasa sakit hati dan dendam yang seolah tak kunjung habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
Teen FictionKita, hanyalah remaja yang seharusnya menikmati hari dengan tawa. Kita, diciptakan untuk memulai, bukan mengakhiri. Kita, adalah sebagian dari makhluk bumi yang mengharapkan kedamaian dari apa yang sudah terjadi. Sekuat apapun melawan, goresan lu...