"Minggir!" Ucapnya dingin. Selepas menaruh buku yang diperintahkan oleh gurunya, Alisha hendak langsung berbalik ke kelasnya. Tapi, ia tidak bisa keluar begitu saja dari perpustakaan. Pria dengan tangan kanan yang ia tempel di pinggir pintu dan tangan kirinya ia taruh di saku nampak tidak memberikan Alisha jalan. Ia Berdiri dengan tenangnya tepat di pintu perpustakaan.
Pemuda itu melirik pelan, melihat tatapan dingin dari perempuan yang ada di hadapannya tak membuatnya menggeser sedikitpun. Tatapan dingin Alisha, dan kilat kesal Aksa, menandakan bahwa akan ada yang terjadi diantara mereka. Pertengkaran yang tidak akan ada ujungnya.
"Minggir!" Ucapnya sekali lagi. Tapi pria dengan seragam yang dikeluarkan itu seolah menulikan pendengarannya. Ia tak menyahut, malah fokus memerhatikan bola mata gadis dengan tinggi sebahunya itu yang nampak tidak merasa bersalah sama sekali.
Sepuluh detik Aksa memerhatikan netra kecoklatan milik Alisha, pemuda itu mengalihkan matanya pada benda pipih berwarna hitam miliknya. Dilihat dari tatapannya, Aksa tidak menemukan penyesalan sedikitpun pada Alisha. Bukan penyesalan yang Aksa temukan pada manik mata Alisha, tapi kilat marah karena Aksa mengganggunya.
"Mau lo apa, Aksara?!" Dengan sedikit menaikkan nada bicaranya, Alisha bertanya lagi. Tapi Aksa, malah berpura-pura bermain handphone dan bernyanyi kecil, menganggap seolah-olah orang yang ada di depannya ini hanyalah embusan ac ruangan.
Alisha menarik nafas perlahan. Ia berbalik menuju meja perpustakaan, biarkan ia menghabiskan jam istirahatnya disini.
"Lo kan yang laporin gue?!" Akhirnya, orang yang menghalangi pintu ini angkat bicara. Membuat Alisha yang tadinya akan pergi jadi menghentikan langkahnya.
Alisha berbalik, dengan santai ia tersenyum masam kearah Aksa. "Kenapa lo nuduh gue?".
"Karena lo adalah satu-satunya orang yang berani laporin."
"Kenapa gue harus ga berani kalau itu adalah sesuatu yang salah?"
Aksa tercengang, mendengar jawaban Alisha yang terkesan begitu santai.
"Lu bener-bener ye." Geram Aksa, menunjuk Alisha dengan tangan kanannya. Alisha mengangkat satu alisnya, entah mengapa marahnya Aksa tidak membuatnya takut. Karena dilihat dari caranya, Aksa tidak benar-benar marah, ia hanya sebatas kesal.
"Bisa ga sih lo ga usah ikut campur urusan gue." Ucapnya lagi, tapi pemilik tinggi badan berkisar 160 cm ini malah membuang mukanya kesembarang tempat. Sampai akhirnya ia mau membuka suara sebelum ketua geng sekolah ini berbicara lagi tanpa jeda.
"Gue ga ikut campur urusan lo kok."
"Terus kalau ga ikut campur kenapa lo laporin ha? Kenapa-kenapa?!"
Untungnya, perpustakaan sedang sepi dan tidak seramai kantin kala jam istirahat tiba. Hanya sedikit orang yang ada disini, biasanya mereka adalah orang-orang penganut ambisius yang tinggi, dan orang yang lebih senang berdiskusi dengan imaji nya tanpa banyak orang disekelilingnya. Keduanya ada di dalam diri Alisha.
"Kan gue udah bilang, itu sesuatu yang salah jadi gue laporin. Ga paham-paham lo dari tadi."
Aksa menempelkan telapak tangan di dahinya. Tidak tahu harus menjawab apa lagi, Alisha selalu punya jawaban atas tanyanya. Dan Alisha tidak pernah mau kalah sekeras apapun Aksa memintanya untuk menyerah dan meminta maaf atas tindakan Alisha yang merugikan banyak orang, meski Aksa tahu dirinya dan teman-temannya itu salah.
"Mau apalagi, minggir lo gue mau lewat."
Nyatanya, kedua insan yang berbeda itu sedari tadi masih berdebat di pintu perpustakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
Teen FictionKita, hanyalah remaja yang seharusnya menikmati hari dengan tawa. Kita, diciptakan untuk memulai, bukan mengakhiri. Kita, adalah sebagian dari makhluk bumi yang mengharapkan kedamaian dari apa yang sudah terjadi. Sekuat apapun melawan, goresan lu...