Di sore hari yang cerah untuk hati yang temaram. Di suatu waktu yang terus berjalan untuk diri yang tak pernah siap. Di tengah keramaian mewarnai hari demi hari yang menjadi pusat aktivitas setiap orang baik di daerah nan jauh di sana maupun di kota metrapolitan seperti Jakarta. Diantara banyaknya harapan menggelayut seperti kolase yang bertumpu pada setiap pundak keinginan. Keberagaman rasa berpacu pada dinding-dinding kekuatan yang tersisa.
Di halaman belakang sekolahnya, Aksara memandang ke depan. Lalu lalang setiap orang di sekolah, tawa renyah yang diciptakan beberapa orang yang ada di taman, kupu-kupu yang hinggap diantara pucuk-pucuk bunga yang bermekaran, serta daun-daun yang bergoyang sana sini seperti riang menari. Turut menemani Aksara yang sedang merenung. Entah bagaimana kabar pikirannya sekarang, yang jelas banyak sekali pertanyaan yang belum mendapatkan jawabannya. Mungkin, tidak akan pernah mendapatkan jawabannya.
Tawa teman-temannya terdengar lagi. Tapi Aksara tak kunjung ikut bergabung seperti biasanya. Masih sama, pikirannya melayang entah kemana. Sesekali ia melirik ke arah teman-temannya, tersenyum simpul ketika melihat guratan bahagia yang teman-temannya ciptakan. Sangat sederhana sekali yang mereka tertawakan, hanya karena lelucon David ciptakan yang tidak masuk akal, petikan gitar yang Adi ciptakan berhasil membuat mereka sendiri bertepuk tangan, dan beberapa camilan ringan yang menemani mereka menjadi pelengkap paling sempurna di sore hari ini untuk menikmati waktu bersama.
Tapi tidak dengan Aksara. Kebersamaan yang biasanya paling membuatnya tertawa lebar kini tak mampu untuk membuatnya terpingkal. Karena dari hatinya yang tidak diketahui teman-temannya, pikiran dan hatinya sedang tidak ada disini. Jauh entah dimana.
"Anjrit gue dari tadi makan ngga kenyang-kenyang." David terus memakan camilan yang ada di depannya. Tak peduli sudah sebanyak apa kalori yang masuk ke dalam tubuhnya, yang paling penting adalah perutnya yang tak terus bersuara.
"Makanan apa lagi yang belum gue makan ha?" Tanya David pada dirinya sendiri. Mencari-cari jenis makanan apa lagi yang belum dicobanya.
"Makanya doa sebelum makan, biar makanan yang lo makan ngga dimakan setan." Sebagai teman yang baik, Dani mengingatkan. Padahal biasanya ia pun tak lebih seperti David.
"Mie instan dua bungkus dah masuk perut lo masih aja keconrongan tu perut." Komen Arka.
"Perut karung emang paling beda dah." Timpal Adi seraya terus menciptakan nada-nada dari gitar kesayangannya.
Dari satu topik ke topik lain terus menjadi obrolan mereka. Dari hal sederhana sampai serius masih menjadi perbincangan diantara mereka. Tapi diantara kebersamaan yang sedang terjalin, ada yang memerhatikan perubahan sikap Aksara. Dani. Sedari menidurkan dirinya diatas rumput lembut ia terus memerhatikan sikap Aksara yang berbeda dari biasanya. Chef kebanggaan dalam pertemanan mereka itu menangkap hal yang tidak biasa dari Aksara. Jika Aksara yang biasa selalu bergabung dan yang menjadi objek dalam candaan mereka. Kini seakan terpaku oleh hal yang tidak ia ketahui. Entah apa masalah yang sedang Aksara hadapi, Dani dan teman-temannya jelas tidak tahu tentang hal apapun yang menyangkut Aksara.
Dalam tiga tahun pertemanan mereka. Sejauh yang bisa Dani rasakan, ia belum pernah melihat sisi lain dari seorang Aksara. Seolah dirinya hanya orang asing untuk Aksara, Dani tidak pernah menyelami dunia lain temannya yang selalu menjadi pelindung bagi mereka. Aksara selalu menjadi seseorang yang penuh dengan tawa, suara riangnya selalu terdengar sampai ke ujung lorong. Aksara adalah seseorang yang bisa membuat siapa saja tertawa karena tingkahnya yang terkadang tidak masuk akal. Aksara adalah orang yang sepertinya seluruh hidupnya ia serahkan untuk bahagia. Iya, Dani hanya tahu Aksara yang seperti itu.
Lamat-lamat Dani memandang wajah temannya dari kejauhan, gurat keresahan memenuhi wajahnya yang biasa menyunggingkan senyum. Sejauh manapun Dani menebak-nebak tentang apa yang sedang Aksara alami, Dani tetap tidak tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
Teen FictionKita, hanyalah remaja yang seharusnya menikmati hari dengan tawa. Kita, diciptakan untuk memulai, bukan mengakhiri. Kita, adalah sebagian dari makhluk bumi yang mengharapkan kedamaian dari apa yang sudah terjadi. Sekuat apapun melawan, goresan lu...