"Aku kangen Kak Cilla."
Untuk kesekian kalinya, ia berbicara pada sekumpulan bunga tulip yang tumbuh di balik rimbunnya dedaunan hijau. Mengelus bunga-bunga itu dengan penuh harapan yang mengudara di sepanjang harinya. Berharap tulip-tulip itu bisa membawanya keluar dari ruang rindu yang menyesakkan dada.
"Aku kangen Kak Cilla." Tuturnya lagi.
Tulip-tulip itu bergerak kesana-kemari mengikuti lambaian angin sore, seolah gerakannya mampu memberikan jawaban kepada Alisha yang terus bertanya. Dari pagi hari sampai sore menjelang, Alisha belum juga beranjak dari taman kecilnya yang terletak di belakang sekolah. Meninggalkan kelasnya sementara waktu untuk yang pertama kalinya. Tidak mengapa. Alisha butuh waktu sendiri setelah banyak berkubang dalam jerit kesakitan. Alisha butuh tempat untuknya bisa menerima semua kehilangan yang telah merenggut hidupnya, sampai-sampai rasa kesepianlah yang harus menjadi penawarnya.
"Aku harus gimana?" Alisha terus bertanya dan berbicara. Layaknya tulip adalah tumbuhan yang diberi nyawa sehingga mampu menjawab semua tanyanya. Tapi seakan mengerti semua resah dan kesakitan Alisha, tulip-tulip yang ditanam dengan sebaik mungkin oleh Alisha terus saja bergerak pelan mengikuti irama angin yang singgah. Mungkin saja mereka mengerti, sang tuan sedang berada di titik kepiluan tak berkesudahan.
"Kalau Kak Cilla milih untuk nggak pergi selama-lamanya, mungkin Kak Cella nggak akan kayak gini. Mungkin aku juga gak bakal kesepian dan ngejalanin semuanya sendiri." Tuturnya dengan bibir yang bergetar. Alisha mengangkat kepalanya ke atas, menatap hamparan langit biru yang menaungi ibu kota sore ini. Mungkin di kondisi tertentu, ia akan berdecak kagum karena langit biru yang terlihat amat memesona. Tapi kali ini, ia mengangkat kepalanya agar air matanya tak jatuh. Agar air mata yang sudah di penghujung pelupuk matanya kembali masuk sehingga tertumpuk menjadi bentuk kesedihan yang tertahan.
"Jangan nangis Alisha... Jangan nangis." Alisha menguatkan dirinya sendiri. Memperbaiki deru nafasnya agar tetap tenang dan tidak ada emosi yang merajai.
Akhirnya, air mata itu kembali masuk tanpa ada sedikitpun yang jatuh. Air mata itu kembali ke tempat asalnya dengan kekecewaan mendalam karena sang pemilik tak mengizinkannya keluar dan memaksanya masuk tanpa bisa disela.
Dalam doa yang ia selipkan sebelum tidur. Alisha selalu berharap kembali ke Alisha yang kemarin. Alisha yang tidak cengeng, Alisha yang mampu menyembunyikan lukanya sendirian. Alisha yang bersembunyi dibalik sifat dinginnya. Alisha yang menjadi anak sekolahan yang terlihat biasa-biasa saja. Meskipun sulit dan sakit, tapi Alisha mampu bertahan. Alisha mampu untuk terlihat biasa-biasa saja walaupun kendati demikian ia merasakan betapa sulitnya merangkak di tengah jurang kesakitan.
Alisha kembali mengelus bunga tulip seperti yang sudah dilakukannya selama berjam-jam. "Kamu tau, Kania datang lagi di hidup aku. Raza juga, Raza datang lagi setelah pergi gitu aja di hidup kita." Sempat menarik napasnya dalam-dalam, sebelum ia kembali melanjutkan curhatannya pada sekumpulan tulip yang sepertinya ikut mendengarkan, betapa terlukanya gadis dengan bawah mata yang selalu terlihat hitam ini. "Aku kira Kania udah maafin semuanya. Aku kira Kania datang karena mau memperbaiki pertemanan kita yang ancur. Aku kira Kania mau temenan lagi sama aku dan nyelesain masalah kita sama-sama. Tapi aku salah, Kania datang buat bales dendam." Alisha menjeda ucapannya, terdiam sebentar sebelum akhirnya kembali berbicara.
"Kamu tau, Kania benci banget sama aku." Ada perasaan sesak tak terkira di setiap lantunan ucapannya. Ada rasa sakit tak terbendung dalam nada-nada bicaranya. Ada sebuah kekecewaan di netra lembutnya yang tidak terdefinisikan. Sesakit itu perasaannya ketika Kania sahabat terbaiknya tapi sekarang malah membenci dirinya sebegitu dalam.
Alisha masih terjebak di masa lalu. Luka lamanya masih basah. Bahkan ketika ia baru mulai untuk mengeringkannya, luka itu harus basah kembali. Perih. Sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
Teen FictionKita, hanyalah remaja yang seharusnya menikmati hari dengan tawa. Kita, diciptakan untuk memulai, bukan mengakhiri. Kita, adalah sebagian dari makhluk bumi yang mengharapkan kedamaian dari apa yang sudah terjadi. Sekuat apapun melawan, goresan lu...