2 - 10

1.8K 102 1
                                    

"Mmmmgghhhh ..." Ayaka menggeliat. Matahari pagi yang datang langsung menyinari wajahnya bertindak sebagai alarm alami, menyuruhnya bangun. "Hm? Babi?" Entah matanya yang rabun atau bagaimana, tapi dia melihat sebuah kepala babi ada di hadapan wajahnya. Sangat dekat. Tubuh Ayaka juga terasa sangat berat. "Apa yang ter- Hmh!" Mulut Ayaka langsung ditutup rapat dan sebuah pisau yang merupakan pisau lemparnya ditodongkan tepat di depan matanya.

"Ssssh!" Si bocah Kuwalakami yang masih bertopeng babi itu menggeleng dan mendesis, menyuruh Ayaka untuk diam. Bocah itu menduduki tubuh Ayaka dan menodongkan pisau agar Ayaka tahu kedudukannya untuk jangan coba-coba melawan.

Mata coklat Ayaka yang baru bangun pun dipaksa untuk terbuka lebar dan dorongan adrenalin mengusir semua kantuk yang ada. Ditatapnya di bawah kaki, sosok Andrew dan Lasagna masih tertidur karena memang kedua pria itu berjaga yang paling akhir.

"Hmh! Hmh!" Topeng babi itu menggeleng, menyuruh Ayaka untuk keluar gua mengikutinya dan tentu saja untuk tetap diam, jangan berisik. Menuruti kemauan si bocah, Ayaka yang masih ditodong pisaunya itu sendiri pun berjalan meninggalkan gua sesuai kemauan si bocah. Kakinya terus melangkah hingga tak terasa mereka berdua sudah memasuki hutan dan semakin jauh dari gua tempat persembunyian.

"Apa maumu!?" Seru Ayaka yang kemudian mendapati si bocah tiba-tiba menarik todongannya. Ayaka pun berbalik, dan mereka saling bertatapan. "Apa!? Kau mau membunuhku sekarang?"

"Hm! Hm!" Si bocah menyerahkan pisau Ayaka kembali. Ayaka lantas semakin bingung mau apa bocah ini menodongnya pagi-pagi dan membawanya menjauh dari Andrew dan Lasagna. "Yusha, Apaki Ro!"

"Ha?"

"Yusha!" Si bocah menunjuk Ayaka.

"Aku, Yusha? Apa itu Yusha?"

Kendala bahasa mempersulit semuanya. "Nnnghh!" Si bocah menggaruk kepala dan ia pun memperagakan sesuatu yang buruk. Ia membuat tanduk-tanduk buatan dan gerakan tangan mengerikan sambil menunjuk Ayaka dengan sebutan Yusha.

"Ha? Aku tidak mengerti!" Hah... Bahu perempuan berdarah campuran itu pun menurun lemas, "Dengar, kami tidak ada niatan menyakitimu, ok? Lihat, kami bahkan menyembuhkan luka di bahumu itu bukan?" Tunjuk Ayaka ke bahu si bocah yang masih terperban.

Si bocah tampaknya menyadari niat baik itu. Ia mengerti kalau Kakak perempuan di depannya inilah yang menolong hingga nyawanya masih ada di dalam tubuh. Dia lantas terdiam sejenak, membuat Ayaka makin bingung karena apa yang dilihatnya adalah seseorang dengan topeng kepala babi. Ayaka tak dapat melihat wajah si bocah, marahkah, ramahkah, atau yang lainnya.

"Hei," Ayaka kemudian memangggil, "Ayaka." Ayaka menunjuk-nunjuk dirinya, "A... Ya... Ka. Namaku, A... Ya... Ka." Ucap Ayaka berniat memperkenalkan diri, "Aku," tunjuk Ayaka ke dirinya, "Bukan Yusha. Aku, A... Ya... Ka. Ayaka."

Si bocah diam saja. Tampaknya mencerna ucapan Ayaka barusan. Tapi, orang manapun yang bahasanya berbeda seharusnya dapat mengerti kalau Ayaka berusaha memperkenalkan diri. Memperkenalkan namanya kepada si bocah. "A...Yaka?"

"Ya!" Ayaka mengangguk-angguk lega akhirnya si bocah mengerti, "Aku Ayaka."

"Ayaka!?"

"Ya!"

Bruk, Tiba-tiba si bocah mendatangi Ayaka lalu memeluknya erat. "Eh!? E... K- kamu mau berterimakasih?" Si bocah yang tidak paham apa yang diucapkan Ayaka tidak menyahut apa-apa, tapi dari pelukan yang tidak ada indikasi menyakiti itu, Ayaka tahu mungkin itu adalah bentuk dari ucapan terimakasih yang tidak dapat diucapkan dalam bahasa yang sama. "O- Ok ..." Ayaka pun membalas pelukan si bocah. Rasanya cukup aneh, karena yang memeluknya sekarang bertopeng kepala babi asli, dan Ayaka mengelus kepala itu.

HIDDENVIEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang