Perlahan-lahan mata Leona terbuka dan hal pertama yang ia lihat adalah ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang menyeruak masuk kedalam indera penciumannya. Jangan lupakan gadis yang tengah berdiri disampingnya dengan tatapan mata khawatir yang bahkan terlihat hampir menangis.
"Lo perlu sesuatu ? Atau mungkin badan lo merasa gak enak ? Mau pulang aja ? Biar gue bilang sama guru dan anterin lo pulang"seperti biasa gadis itu menyerang dirinya dengan berbagai pertanyaan.
Ia senang Liona mempunyai teman seperti Seren, selama ini ia menghawatirkan Liona karena tidak ada orang yang berada disisinya. Namun sepertinya ia salah, karena Liona mempunyai Seren sebagai tempat bersandar.
"Gue gak papa, cuma sedikit pusing"balas Leona lalu menepuk-nepuk puncak kepala Seren, ekspresi gadis itu terlihat seperti anjing yang ditinggalkan oleh pemiliknya, apalagi sorot mata Seren yang berkaca-kaca membuatnya benar-benar terlihat seperti anak anjing.
"Jangan bilang kalo lo belom sarapan!"kali ini Seren melayangkan tatapan menyelidik.
"Waktunya mepet jadi gue gak sempet sarapan"balas Leona yang terdengar santai di kuping Seren.
"Tunggu sini gue beli makanan dulu"ia hanya mengangguk dan Seren pergi ke kantin.
Leona meraih ponselnya yang berada di meja tepat disampingnya."bagaimana keadaannya ?"
"...."
"Apa sudah ada kemajuan ?"
"...."
"Baik, terimakasih"
Ia kembali merebahkan tubuhnya dan menutup mata, belum ada tanda-tanda kalau Liona akan bangun dari tidur panjangnya. Ada satu hal yang Leona khawatirkan jika Liona sudah bangun, ia takut tidak bisa menjawab pertanyaan gadis itu. Kematian Elena, bagaimana caranya ia menjelaskan hal itu pada Liona, gadis itu pasti akan sangat terpukul. Tidak ada yang tahu perihal kematian Elena termasuk keluarga Wilson sekalipun, terkecuali Zora.
Leona memijat pelipisnya."gimana caranya gue jelasin hal ini ke Liona"gumamnya.
Terdengar suara pintu yang terbuka lalu seseorang membuka tirai yang membatasi setiap brankar, Leona sudah bersiap dengan memasang senyum diwajahnya namun ternyata yang datang bukan Seren, melainkan Galexia.
"Lo ngapain disini ?"tanya Leona dengan ekspresi wajah yang berubah drastis.
"Wah, begitu tau gue yang dateng ekspresi lo dengan cepat berubah"ucap Galexia seraya menggelengkan kepalanya.
"Nih makan"gadis itu menyodorkan sebuah bungkusan sedangkan Leona hanya mengangkat sebelah alisnya.
"Tadi gue ketemu Seren di koridor dan dia nyuruh gue buat kasih makanan ini ke lo"jelas Galexia.
Leona menerimanya kemudian memakan bubur yang tadi Seren beli. Galexia hanya duduk sambil memperhatikan Leona makan dengan lahap dan setelah itu hening, tak ada yang bersuara.
"Pasti sulit"gumam Galexia yang didengar oleh Leona.
"Apa maksudnya ?"
"Kehidupan setelah nyokap lo meninggal, pasti sulit hidup sendirian dan gak ada tempat untuk bergantung"
Leona terdiam sejenak, kehidupannya tidak ada yang berubah karena dari awal ia memang tak memiliki tempat bergantung bahkan untuk bersandar sekalipun. Satu-satunya orang yang ia harapkan untuk dijadikan sebagai tempat bergantung justru tenggelam dalam kesedihannya.
Sedari Leona kecil ibu selalu mengurung diri di kamar, tak perduli apa yang akan terjadi padanya. Wanita itu seperti mayat hidup, setiap hari hanya berbaring dan menangis di atas tempat tidur. Tak jarang pula Elena menenggak alkohol hingga botol-botol berserakan di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Is This
Teen FictionKedatangannya kembali ke indonesia bukan tanpa alasan. Pertemuan antara dirinya dengan Sagar juga bukan tanpa alasan. Semuanya telah di takdirkan. "Sorry," Ujar Leona dan berniat untuk pergi. Namun, saat hendak beranjak dari sana. Sebuah tangan bes...