Kring! Kring! Kring!
Bel berbunyi hingga memekikkan telinga. Semua yang berada di dalam kelas bersorak kegirangan, ketika tahu bahwa waktu pulang telah tiba. Tanpa memperdulikan guru yang masih berada di depan. Para murid segera membereskan peralatan mereka, lalu bergegas keluar. Guru itu hanya bisa diam melihat kebiasaan turun temurun ini, sudah sering ia memberikan nasehat. Tapi tetap saja, tingkah laku yang seperti itu sulit di ubah.
Leona memilih menjadi orang terakhir yang beranjak keluar dari kelas. Alasannya ia ingin menghindari para anggota Dementor. Karena kejadian di toilet tadi, ia masih merasa kesal sekaligus malu. Tadi Kris mengajaknya untuk pulang bersama, tapi penawaran tersebut dengan cepat ia tolak.
"Ck, dasar Kris sialan!" Decak Leona sembari berjalan keluar kelas. Gadis itu mengenakan hoodie dan earphone yang tersemat di kedua telinganya. Tangan mungil nan putih milik Leona di taruh dalam kantong hoodie.
Kaki panjang Leona terus melangkah melewati lorong sekolah. Hanya tersisa beberapa murid yang masih berlalu-lalang.
"Kamu, anak perempuan yang lagi jalan. Tolong kesini sebentar!" Dari kejauhan seorang pria paruh baya dengan pakaian olahraga yang melekat pada tubuhnya, memanggil Leona seraya melambaikan tangan kearahnya. Meng-kode dirinya, untuk pergi menghampiri pria yang sedang berdiri di tengah lapangan.
Ia berdecak kesal sembari memutar kedua bola mata malas. Tak berhenti di situ, Leona bahkan terdengar mengumpat walaupun itu hanya sekedar gumaman. "Tolong kamu taruh bola ini di ruang peralatan olahraga," Ujar guru tersebut sambil menyodorkan dua buah bola basket.
What the-
Ayolah, ia hanya ingin pulang ke rumah lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Lagian kenapa pula malah dirinya yang mendapatkan hal seperti ini. Ia juga tidak sebaik dan serajin ini untuk membantu orang. Em, bukankah kita harus mendahului diri sendiri? Baiklah, kalau begitu apa salahnya jika ia tolak. Toh, Leona akan menolak secara halus.
"Saya lagi bu-"
"Kalo gitu saya tinggal, ya. Tadi katanya kepala sekolah manggil saya." Sesudah memberi kunci pada Leona, guru itu pergi setelah memberikannya beban. Ya, setidaknya Leona menganggapnya begitu.
Padahal sedikit lagi ia akan mencapai gerbang sekolah, lalu kemudian keluar dan pulang ke rumah. Cih, tapi rencana itu langsung pupus seketika. Leona berbalik dan kembali menyusuri koridor. Namun, kali ini tampak lebih sepi. Netra biru dan cokelat miliknya menangkap sesosok orang yang familiar di matanya.
Sesosok gadis yang tengah berada di ujung lorong juga menatap intens kearahnya. Gadis yang selalu saja mencari masalah dengan Leona, siapa lagi kalau bukan Zora. Entah perihal apa lagi yang akan gadis itu buat sehingga memicu pertengkaran.
"Lo-"
Kala mereka berpapasan, Leona sengaja mengabaikan gadis itu. Sungguh, ia sedang malas untuk beradu urat dengan gadis ini.
"Ada yang mau gue omongin!" Teriakan Zora terdengar memenuhi lorong. Namun, ia lebih memilih mengabaikannya dengan terus berjalan seakan tak ada orang lain di sana selain dirinya.
Tapi siapa sangka. Zora justru mengekor di belakang, sembari mencoba menghentikan Leona menggunakan kata-kata yang memancing emosi.
"Lo tuli? Gue dari tadi ngomong sama lo!" Bahkan saat sampai di ruang peralatan olahraga pun, teriakan Zora masih menemani dirinya.
"Gue sibuk." Hanya itu yang Leona katakan setelah membuka pintu dan masuk kedalam.
Dari belakang Zora menarik kuat lengan Leona, sehingga posisi mereka saling berhadapan sekarang. "Hal yang lo omongin ke nyokap gue tadi pagi itu keterlaluan!" Bentak Zora emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Is This
Teen FictionKedatangannya kembali ke indonesia bukan tanpa alasan. Pertemuan antara dirinya dengan Sagar juga bukan tanpa alasan. Semuanya telah di takdirkan. "Sorry," Ujar Leona dan berniat untuk pergi. Namun, saat hendak beranjak dari sana. Sebuah tangan bes...