Waktu sudah menunjukkan jam makan malam, dan Leona baru saja selesai mandi. Gadis itu sekarang tengah sibuk mengeringkan rambut, sedari pulang sekolah. Ia langsung merebahkan tubuhnya di kasur, tapi rasa kantuk datang sehingga membuatnya tertidur dan baru terbangun sekarang. Lain hal nya dengan Liona yang sudah duduk di meja makan, sambil menunggu William pulang.
Leona turun ke bawah menuju meja makan, ternyata William sudah duduk di kursi, pria itu pulang lebih cepat dari biasanya. Dengan tubuh yang terbalut hot pants dan kaos polos, ia menarik kursi, lalu duduk tepat di sebelah Liona. Entah mengapa suasana makan malam kali ini terasa berbeda. Ekor matanya melirik kearah William, tatapan dingin itu sedang mengarah padanya.
"Leona, setelah ini datang ke ruangan Daddy." Ujar William di tengah-tengah ritual makan malam.
Perkataan William barusan membuat semua orang menoleh kearahnya, mereka menghujani Leona dengan tatapan penuh tanda tanya. Terkecuali Zora yang sepertinya mengulas sebuah senyum tipis. Dirinya pun juga penasaran, hal apa lagi yang akan pria itu bicarakan dengannya.
Setelah makan malam berakhir, Leona segera pergi ke ruangan sang Ayah. Jari-jari lentiknya meraih gagang pintu, kemudian membukanya. Gadis itu melangkah masuk, dan langsung di sambut oleh tatapan tajam yang di layangkan William. Kaki Leona berhenti dengan tubuh tegap dan tatapan mata yang terus mengarah ke William, sikap yang di tunjukkan oleh Leona seolah-olah mengatakan bahwa ia tidak takut.
William beranjak dari kursi kemudian menghampiri putrinya, lalu tanpa ragu dia menampar Leona dengan kencang, sampai-sampai sudut bibir gadis itu terluka. Leona tak menangis ataupun meringis, ia hanya diam dan menunggu apa lagi yang akan pria ini lakukan.
"Dad dengar dari Zora kalau kamu terlibat adu mulut dengan Blair." Ujar pria itu tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
"Sebaiknya kamu jangan berbuat hal bodoh yang dapat merugikan kita. Kalau kamu masih saja melakukan tindakan bodoh ini, Dad akan kirim kamu untuk kembali ke Amerika." Lanjut William penuh penekanan.
Dengan santai Leona mengusap darah tersebut menggunakan ibu jari."jadi artinya kalau aku berbuat hal yang merugikan atau membuat nama keluarga Wilson menjadi jelek, aku akan tetap di buang walaupun aku anak kandung Daddy?"
"Ternyata kamu dapat mengerti perkataan Dad dengan baik."
Leona menatap kedua mata sang Ayah secara bergantian, tak ada keraguan saat dia mengatakan hal itu. Leona tertawa dengan satu tangan yang menutupi sebagian wajahnya. Konyol sekali, perasaan sakit apa ini, mengapa dada nya terasa sesak. Dan juga ia merasa seakan ingin menangis, apakah ia merasakan sakit karena perkataan William barusan.
"Apapun yang akan aku lakukan, itu tidak akan berimbas pada keluarga Wilson, jadi Dad tenang saja." Ucap Leona sambil berusaha menghilangkan perasaan-perasaan konyol itu.
Prang!
William mengambil vas bunga yang berada di dekatnya, kemudian melemparkan benda tersebut kearah Leona. Lemparan pria itu berhasil mengenai kepalanya, alhasil darah segar merembes keluar dan mengalir melewati pipi Leona. Sehingga cairan kental berwarna merah itu menetes ke lantai.
"Berhentilah bermain-main, Leona Beatrix Wilson!" Bentak William.
Leona berharap ia bisa kembali menjadi seorang anak kecil yang tak mengerti apapun, yang hanya makan dan bermain dengan bebas tanpa perlu memikirkan hal lain. Karena nyatanya, tumbuh menjadi dewasa adalah hal yang menyakitkan. Kenyataan bahwa orangtuanya bercerai, ibu yang memilih untuk mengakhiri hidupnya, dan ayah yang bersikap dingin pada putrinya.
Membuat Leona tersadar.
Betapa rumit nya kehidupan itu, ketika kamu mengerti semua hal.
"Dad bahkan belum mengetahui apa yang Blair lakukan ke Liona, tapi sudah mengatakan aku ini bermain-main. Kalau aku kasih tahu sekalipun, Dad juga engga akan perduli." Cibir Leona yang kemudian keluar dari ruangan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Is This
Teen FictionKedatangannya kembali ke indonesia bukan tanpa alasan. Pertemuan antara dirinya dengan Sagar juga bukan tanpa alasan. Semuanya telah di takdirkan. "Sorry," Ujar Leona dan berniat untuk pergi. Namun, saat hendak beranjak dari sana. Sebuah tangan bes...