Kini Liona sudah mengganti pakaian, dan sekarang tengah duduk bersandar pada ranjang. Sedangkan Leona, gadis itu duduk di bibir tempat tidur dengan mata yang menatap intens. Dan tentu saja ia hendak menginterogasi Liona, sebenarnya apa alasan dia melakukan hal ini.
"Apa alasan lo ngelakuin ini Liona?" Saat ia melayangkan pertanyaan itu, Liona memalingkan wajah.
Tangan gadis itu mencengkram kuat ujung selimut tersebut, Liona juga tampak menarik napas panjang. "Hey, Lio. Dengerin gue, apapun yang terjadi gue akan selalu berada di pihak lo."
Perkataan itu sukses membuatnya menangis, Liona langsung menjatuhkan tubuhnya kedalam pelukan Leona. Gadis itu mulai terisak, dan tubuhnya bergetar. Leona yang mengerti langsung mengelus lembut puncak kepala Liona. Yang sekarang dia butuhkan adalah sebuah pelukan dan Kata-kata penenang.
"Jangan terburu-buru, lo bisa cerita pelan-pelan," kata Leona.
Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya. "B-Blair, cowok itu dateng lagi. Gue takut Leo, gue takut kejadian itu akan terulang lagi," lirih Liona sambil sesekali terisak.
"Apa yang dia lakuin ke lo?" tanya Leona dengan tangan yang menepuk-nepuk punggung Liona.
"D-dia pukul dan hajar gue, gak cuma itu. Dia bahkan berani ngelecehin gue." Isakan Liona semakin kencang dan tubuh gadis itu bergetar hebat.
"Bahkan saat gue udah penuh dengan luka, kepala sekolah bilang kalau ini salah gue yang gak bisa menjaga diri dengan benar, bahkan temen-temen terdekat gue juga berbicara hal yang sama."
"G-gue takut kalau lo juga akan nyalahin gue," sambung Liona dengan air mata yang masih mengalir deras.
Leona yang mendengar itu semakin mengeratkan pelukan, hatinya terasa sakit saat mendengar apa yang Liona alami. Ia juga merasa bersalah karena tak bisa menjaga adiknya ini, kalau saja ia datang lebih cepat, mungkin hal ini tidak akan terjadi.
"Jangan khwatir, sekarang ada gue. Gue gak akan biarin ada satu orang pun yang berani nyakitin lo!" tegas Leona.
Liona menganggukkan kepala, tubuhnya sudah tak bergetar, isakan gadis itu juga sudah berhenti. Ia merasakan hembusan napas di leher, lalu Leona melirik ke arah perut Liona. Gadis itu sudah tertidur, dan perutnya naik turun dengan teratur. Dengan hati-hati, ia membaringkan tubuh Liona di kasur. Ia menatap gadis itu dalam diam, tangan Leona mengusap kasar wajahnya.
"Bajingan gila itu!" gumam Leona dengan tangan yang terkepal kuat, serta mata yang menyala.
Leona beranjak dari kasur, gadis itu berjalan keluar kamar. Kemudian menutup pintu dengan sangat hati-hati, ia takut kalau akan menimbulkan suara dan membangunkan Liona. Dengan langkah pelan, ia pergi menuju ruang kerja William. Gadis itu terdiam sesat di depan pintu, tapi dengan penuh keyakinan Leona mengetuk pintu tersebut.
Tok! Tok! Tok!
"Ini aku, ada hal yang ingin ku bicarakan," kata Leona sambil terus mengetuk pintu.
Tak lama setelah itu pintunya terbuka, dan nampaklah Alex yang tengah berdiri di sana. Tanpa menghiraukan pria itu, Leona langsung masuk dan duduk di depan sang Ayah. William terlihat sedang berkutat dengan tumpukan kertas yang ada di mejanya. Pria itu tampak sedang menandatangani beberapa dokumen.
"Apa kau sudah memutuskan untuk berkuliah di mana?" tanya William tanpa mengalihkan matanya.
"Ada hal penting yang harus aku urus terlebih dahulu," balas Leona dengan tangan yang bersedekap.
"Jadi aku memutuskan untuk mengambil kuliah tahun depan." Perkataan Leona berhasil membuat tatapan William teralih padanya.
"Lelucon apa yang sedang kamu katakan?" tanya pria itu sembari melepas kacamata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Is This
Teen FictionKedatangannya kembali ke indonesia bukan tanpa alasan. Pertemuan antara dirinya dengan Sagar juga bukan tanpa alasan. Semuanya telah di takdirkan. "Sorry," Ujar Leona dan berniat untuk pergi. Namun, saat hendak beranjak dari sana. Sebuah tangan bes...