41. quarante-et-un

675 62 0
                                    

doyoung berjongkok di depan batu nisan berwarna abu abu itu. senyumnya mengembang sedikit, mengusap kaca yang melapisi gambar seseorang lelaki yang tersenyum.

Moon Taeil.

iya, 2 hari yang lalu taeil dikabarkan meninggal karna penyakitnya, kanker otak yang ternyata terbilang ganas saat memasuki stadium 3.

doyoung cukup shock sebelum itu, tapi doyoung yang di hari ini jauh kelihatan lebih tenang dari biasanya.

yang kemaren masih nangis, masih ngurung di kamar, mogok makan, mogok sekolah. bahkan di hari pemakaman taeil, doyiung gak dateng.

sampai akhirnya kakinya menginjak rerumputan di pemakaman kota.

"pasti udah gak sakit kan disana? udah gak harus rasain pusing lagi." ucap doyoung.

doyoung menatap foto taeil, senyuman manisnya terukir di bibirnya itu. mengundang doyoung ikut tersenyum semakin lebar.

"kak taeil... makasih ya?"

doyoung membiarkan air mata yang keluar dari pelupuk matanya yang terjun dengan cepat. tanpa mengusapnya sedikit pun.

doyoung tersenyum tipis, "bahagia trus disana ya.."






































renjun berjalan menghampiri haechan yang duduk yang berhadapan dengan 2 makam. bisa dilihat setangkai mawar putih digenggaman haechan, yang masih terlihat cantik.

renjun ikut duduk di samping haechan, lelaki itu menepuk pundak haechan. tanpa berkata apa apa, renjun mengusap kepala haechan.

sedangkan haechan menatap dua batu nisan di depannya. milik mark, dan kakaknya, mark.

"sebenarnya... ini kutukan dari tuhan atau apa?" pertanyaan haechan membuat renjun menoleh, dan lelaki mungil itu tersenyum tipis.

renjun menunjuk makam milik mark, ten, dan milik taeil di sampingnya.

"ketiga orang itu... mereka orang baik."

haechan mengangguk.

"chan, nenek gua pernah ngomong gini, kalau lu ada di taman bunga.. bunga mana yang bakal lu petik?"

"bunga yang paling cantik."

renjun mengangguk. "sama persis kaya Tuhan lebih memilih panggil orang orang baik buat pulang, chan."

"kak mark, kak ten, kak taeil, mereka orang yang disayang Tuhan."

ucapan renjun membuat haechan mulai tersadar sekarang. perlahan lelaki itu bisa mencerna apa yang dimaksudnya.

"tuhan mulai menerima kepulangan anak anaknya, anak anak yang baik, anak anak yang dia sayang, dia gak mau anaknya menderita lagi." tuturan lembut yang keluar dari bibir renjun itu membuat haechan yang ada di sebelahnya menghembuskan nafas.

"tapi kenapa gua enggak? apa tuhan gak sayang gua?"

renjun tertawa kecil, kemudian menggeleng.

"bukan... itu karna Tuhan bener bener berharap sama lu kalau lu bisa bertahan menjadi anak yang kuat, dan selalu melibatkannya dalam setiap permasalahan lu."

"lu tau? setiap beban yang lu pikul di setiap hari—" renjun menepuk pundak haechan, "itu adalah kayu sebagai jembatan buat lu, dimana lu akan menyebrang dan lu perlahan mulai merasa bahagia."

"mungkin orang orang yang lu sayangin meninggalkan lu, tapi ada satu orang yang sayang sama lu, dia gak akan pernah ninggalin lu." ucap renjun menatap lurus kedepan.

haechan asik mendengar tuturan dari renjun, membuatnya lumayan tenang sambil menikmati angin angin di pemakaman.

"Tuhan, chan"


Cicatrices | NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang