MDB 3| Menghilang

494 71 21
                                    

"Bodoh pikiran bukan berarti bodoh hati dan perasaan."

-Jim Diera-

...

Siang telah berganti sore. Jarum jam kini menunjuk pukul empat dan suara bel dengan kencang berteriak memberikan tanda untuk para guru agar berhenti dari kewajibannya.

Para siswa yang mendengar langsung menghela napas lega. Bunyi yang paling indah bagi mereka memang hanya bel sekolah. Itu seperti lagu surga kebebasan yang hakiki.

Kecuali untuk Sean. Dia terlihat murung dan lesu. Belum lagi matanya yang menunjukkan kebingungan. Itu begitu kontras dengan Jim yang tersenyum cerah.

"Sean, mau langsung pulang?" tanya Jim di tengah proses berbenahnya.

Dia merapihkan rambutnya dan mengambil ponsel untuk mengaca. Tasnya sudah siap di atas meja tinggal dipakai saja. Matanya yang sipit itu terus melihat-lihat bagian rambut yang berantakan dan ketika melihat poninya dia mencebikkan bibirnya. Rambut rapih nan klimis memang aneh untuknya. Lalu yang ia lakukan malah mengacak kembali semua rambutnya yang sudah rapih tadi. Bagus.

Tampilan badboy memang yang terbaik..

Batin Jim berkata bersamaan dengan jawaban yang diberikan oleh Sean yang sedang melihat ponselnya penuh harap. "Tidak tau. Aku mau nunggu adikku."

"Ngekor terus. Balik sendiri kalo udah besar," celetuk Aidan sambil bangkit dari duduknya.

Hadapannya kini sudah kepada Sean dan Jim. Dia mengeluarkan baju putihnya dan melonggarkan sabuknya. Niatnya dia ingin tampil acak-acakan. Biar ada kesan anak bandel.

"Iya. Mau apa emang sama adikmu? Nempel banget," timpal Noel, heran.

Dia memang tidak mengerti dengan salah satu kebiasaan Sean ini. Menurutnya apa yang enak dari menempeli seorang adik?

Sean melihat Aidan dan Noel dengan mata bulatnya. Tatapannya polos seperti seorang anak kecil yang tidak tahu harus bagaimana. Dia juga melihat dengan tatapan takut dan sedih.

Meskipun begitu, Sean tetap akan menjawab dengan jujur. "Mama yang bilang. Aku tidak bisa--"

"Heh, tolong mengerti kalian," potong seorang siswa dari belakang. Suaranya bass dan dalam. Dilihat dari tampilannya yang biasa saja tapi wajahnya yang menyeramkan-itu terlihat dari rambutnya yang acak-acakan dengan potongan yang tidak rapih-dan raut wajahnya yang minim ekspresi, mendeskripsikan dia bukan anak yang mudah didekati maupun mendekati.

Dia adalah Lionel Vito, orang yang selalu berkata tanpa rem dan saringan. Belum lagi wajahnya yang tidak ada ekspresi manis-manisnya, padahal aslinya jika tersenyum manis dan terlihat lembut. Mungkin ini yang dikatakan 'don't judge by cover'. Itu sangat pas untuk Vito.

Dia memajukan tubuhnya sehingga wajahnya menyembul dari balik bahu Sean. Senyum miringnya sudah menghiasi bibirnya yang tipis. Itu menjadi lebih indah dalam kekejaman yang tak terelakkan.

Yang lain melirik dan menunggu kelanjutan Vito. Biasanya ucapan Vito itu akan mengandung bumbu-bumbu pedas seperti sambal untuk Sean.

"Sean itu anak mama dan bayinya Ega. Jadi, wajarlah seperti anjing," lanjut Vito dengan penekanan kata paling akhir.

Seperti biasa juga, ia tersenyum mengejek. Dia sangat tersenyum lebar ketika mengucapkan kata terakhir dari ucapannya. Rasanya menyenangkan dan puas, apalagi setelah melihat perubahan wajah Sean yang merah padam.

MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang