"Jangan mengabaikan perasaan yang tiba-tiba datang. Bisa jadi itu adalah sebuah sinyal yang datang dari seseorang."
—Alzena—
...
Sesuai dengan ucapan Ega, dia pergi ke asrama Sean jika pulang kurang dari jam delapan malam. Dan dia pergi bersama dengan Brian dan Koko. Selain untuk menjenguk dan menjalankan tugas dari ibu negara, ini juga dianggap sebagai pengenalan dan jalan-jalan untuk kedua temannya.
Ega memimpin kedua temannya masuk ke dalam. Sebelumnya dia sudah berbicara kepada tukang satpam juga untuk laporan. Dia yang pertama memarkirkan motornya dan disusul oleh Brian. Koko tidak bawa motor karena masih dalam masa pelarian dari rumahnya.
"Aku udah tau asrama ini tapi tetep aja takjub pas liat langsung," decak Koko, takjub.
Matanya berbelanja sana-sini, melihat setiap benda dan area yang terlihat oleh kedua lensa cemerlangnya.
Ega hanya diam saja dan terus berjalan, meninggalkan Koko yang masih sibuk sendiri. Brian mengikuti Ega, mengekorinya tanpa banyak tingkah. Dia melihat-lihat dalam diam dan tidak berlebihan.
"Ga, Kak Sean ada di kamar mana?"
"Dia di kamar good boy."
"Wew." Brian mau tak mau merasa lucu. Dia berkata sambil menahan tawa, "Memang cocok."
"Ngeledek?"
"Tidaklah." Brian mengibaskan tangannya cepat. Dia mengilah tenang, "Kenyataan emang. Kamu pikir Kakak Sean anak yang bandel?"
Ega terdiam. Dia malas menjawabnya karena merasa tak perlu dijawab. Lagian pertanyaan itu memang tak memiliki jawaban baginya. Dan yang membuatnya terdiam adalah karena nada Brian yang seperti mengejeknya. Itu menyebalkan.
Dia mendengus dan kembali fokus pada jalannya. Secepatnya dia ingin segera menemui kakaknya dan pulang.
"Ga, emang kakakmu ada sekarang?" celetuk Koko yang sudah menyemai langkah Brian dan Ega.
"Ada, lha," jawab Ega, yakin. Dia bahkan tidak usah berpikir untuk hal itu. "Dia bukan kamu yang bisa kabur."
Koko merasa seperti sudah ditembak. Itu tepat mengenai jantungnya. Rasanya kesal tetapi tak bisa marah. "Kali aja gitu, dia lagi nongkrong atau--"
"Mana ada," potong Ega. Dia menghentikan langkahnya, berbalik badan untuk mendelik. "Dia bukan orang yang betah diam di luar."
Itu adalah sebuah sindiran yang sangat jelas. Bukan hanya untuk Koko, tetapi untuk Brian dan juga dirinya sendiri. Untuk itu Brian kembali menambahkan, "Soalnya kakakku laki-laki yang baik."
Brian tersenyum dipaksakan. Dia sudah tahu kelanjutan ucapan Ega jika terus berbicara. Makanya dia menyergah, "Iya, tidak seperti adeknya, baik-baik tai kucing."
Koko refleks tertawa kencang. Dia sampai memukul punggung Ega karena tak tahan dengan ucapan Brian.
Orang yang diejek justru memasang wajah sebal. Bibir atas Ega berkedut bersamaan dengan salah satu ujung alisnya yang naik. Rasanya menyebalkan jika mendengar hal itu dari orang yang sama sekali tak baik menurutnya.
"Ga, kamu emang sesuatu sekali," telak Koko, masih dengan tawanya.
Itu sudah cukup mampu membuat Ega kembali mendengus dan membalas kalem, "Aku cuma mau hidup normal. Apa itu salah?"
Sekarang Brian dan Koko malah kicep. Untuk Brian, dia sangat mengerti arti dari ucapan Ega ini, makanya di angicep karena tak bisa berkata-kata. Jika untuk Koko, justru kebalikannya. Dia tidak mengerti makanya ngicep.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Novela JuvenilWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...