MDB 18| Permohonan

256 39 8
                                    

"Jika aku tak lagi memiliki kesempatan, maka aku akan membuatnya sendiri."

—Ega—

...

Ega berdiri dengan gelisah di luar gedung lapangan indoor voli. Di dalam semua tim voli sudah berkumpul. Mereka sedang mengganti baju untuk latihan hari ini. Kapten belum datang, jadilah mereka sedikit berisik. Dan ini juga yang jadi alasan Ega melakukan ini sekarang.

Sebenarnya teman-temannya sudah mengajaknya untuk masuk dan menunggu Avis di dalam saja, tetapi Ega menolak dengan keras bahwa dirinya akan menunggu di luar agar bisa bertemu lebih cepat.

Padahal apa yang sebenarnya terjadi adalah dia tidak mau terlalu merasa malu jika memohon di hadapan semua teman-temannya.

Netra hazelnya berkali-kali melirik jam tangan, sangat terlihat sekali kegelisahannya diselimuti oleh penungguan. Hatinya merasa tak sabar, jantungnya berdecak lebih cepat. Perasaan semacam ini sama seperti ketika dia mencari Sean tempo hari. Gugup dan takut ikut menghiasi hatinya.

Apa yang dia tunggu adalah Avis, tetapi yang datang adalah sebuah pesan melalui ponselnya. Namun dirinya tetap merasa kaget ketika merasakan getaran yang berada di saku celananya. Dia jadi heran.

Apa menunggu menyebabkan jantung melemah, ya? Kok aku jadi kagetan seperti ini?

Tidak menghiraukan getaran ponsel, tangannya bekerja atas perintah pikirannya. Dia merogoh sakunya dan menghidupkan layar yang mati.

Terdapat satu nama yang terpampang jelas di layar pipih berlapiskan aluminium hitam di bawahnya. Dan ketika dibuka untuk memperjelas isi pesan yang memiliki kuantitas lebih dari dua itu sontak saja membuat ujung alis Ega meninggi.

Lubis Kubis

Jangan lupa bicaranya sesuai kenyataan dan apa kati hati

Blakblakan aja seperti aku tadi tuh

Jangan malu-malu. Jijik.

Sing kece yaa

Semangat buat dimarahin~

Kedutan tak bisa dihindarkan pada bibir Ega yang terkatup rapat. Rasa gugupnya langsung tergantikan dengan sebuah kejengkelan dan perasaan senang yang tipis. Jantung yang berdecak dua kali lebih cepat kini sudah bekerja seperti biasanya.

Pesan dari Lubis ini sungguh ampuh menjadi obat dan suatu peralihan.

Terbukti dengan adanya pesan itu mata Ega tak lagi melihat ke depan. Pupilnya fokus ke setiap huruf pada keyboard yang sekarang tengah ia tekan dengan halus dan cepat. Dia telah melupakan sekitar hingga pada langkah kaki yang terdengar jelas pun tak ia gubris.

"Sedang apa kamu di sini?"

Seperti sebuah gong dipukul tepat di belakang kepala, Ega tersentak dan hampir menjatuhkan ponselnya. Benda pipih itu sempat melayang di hadapan wajahnya dan wajah orang yang bertanya. Senior Avis!

"E-eeh Kak Avis." Ega mengawali ucapannya dengan kegagapan dan wajahnya yang kaget. "Itu--anu aku tidak bermaksud mengganggu." Dan tentu saja mengefek pula pada isi ucapan dan suaranya.

Ini yang tidak diharapkan oleh Lubis, tetapi terjadi dengan tanpa disengaja. Mungkin inilah yang disebut dengan takdir, memang seharusnya seperti ini, ya akan terus seperti ini.

MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang