Ega pulang dengan keadaan tubuh yang lelah; hati dan pikirannya benar-benar terkuras tenaganya. Dan menurutnya ini buruk.
Ketika hati dan pikiran sudah merasa lelah, maka tidak ada satu pun dari hidupmu yang akan merasa baik. Semuanya tampak melelahkan. Pada titik ini, hidup akan berada di posisi keputusasaan untuk sesuatu yang menyebabkan semuanya menjadi terasa berat dan mustahil.
Ega lebih baik merasa lelah tubuh daripada lelah hati dan pikiran. Ini akan mengacaukan segala tatanan yang sudah terbangun di dalam dirinya. Sedikit demi sedikit retak, hancur, dan roboh. Kehidupan yang sedang ia jalani sekarang terasa sangat berat dan mustahil.
Belum sempat dia mendapatkan untuk rasa lelahnya, baru saja dirinya hendak masuk ke kamar, Mira dan Daniel keluar secara bersamaan dari dua ruang yang berbeda.
"Baru pulang, Dek?" tanya Daniel.
Ega menjatuhkan tatapannya pada cangkir yang sedang dibawa oleh Daniel. Ada kepulan asap yang menguarkan aroma kopi hitam yang begitu kuat, dan itu membuat Ega ingin menyecapnya juga.
"Iya, Yah." Ega menjawab singkat. Dirinya malas jika harus menjawab panjang-panjang.
Tak berselang lama kini rungunya kembali mendengar suara langkah kaki beserta ucapan yang menyertainya. "Latihannya udah?"
Itu dari Mira dan terdengar kurang bersahabat di telinga Ega. Ada rasa yang berat untuk dijelaskan, percampuran antara kekesalan, kesabaran, kekecewaan, dan kelelahan. Yang pasti, tidak ada nada yang baik di dalamnya.
Sekarang Ega merasa ada di posisi sulit. Dia bingung harus menjawab singkat atau langsung meminta maaf dan menjelaskannya. Namun, dirinya tak yakin pula bisa menjelaskannya atau tidak. Dan lagi, dia merasa tidak ada yang harus dijelaskan.
Waktu yang digunakan Ega untuk menimbang-nimbang lumayan cukup lama sehingga Mira merasa diabaikan. Dia pun kembali berucap dengan mengajukan sebuah pertanyaan, "Kenapa kamu ikutan voli?"
Pertanyaan ini terasa begitu menggetarkan hati Ega. Dia belum pernah mendapatkan getaran hati karena sesuatu sebelumnya, dan ini adalah yang pertama. Ini menjadikannya begitu kaku.
Sebenarnya ini adalah pertanyaan yang mudah. Ibunya hanya meminta alasan. Dan dia memilikinya. Dia juga sudah mempersiapkan alasannya dari awal dirinya mengambil voli daripada Sean. Namun anehnya sekarang dirinya tidak bisa menjelaskan alasan itu.
Pikiran yang sudah asah untuk mengelak dan mempertahankan asumsinya yang berisi sebuah bantahan untuk keinginannya, tak bisa dijalankan. Hatinya pun begitu. Kedua bagian ini membuat setiap anggota tubuhnya kaku dan tak bisa digerakkan.
"Jawab Mama, Ega," geram Mira. "Kenapa kamu ikutan voli?"
Ega tersentak. Ini bukanlah apa yang ia harapkan. Berdebat atau membuat ibunya kembali mengucapkan hal-hal yang membuat dirinya terpojokan dan merasa jadi anak yang paling tidak diuntungkan sedunia, itu bukanlah keinginannya malam ini. Jadi, dia menjawab dengan dipaksakan, "Anu ... itu-itu karena aku mau."
Ega menurunkan pandangannya. Dia menggeram di dalam dirinya sendiri atas jawaban yang telah bibirnya lontarkan. Itu bukanlah apa yang telah ia pikirkan selama ini.
"Kamu itu udah kelas tiga, Ega. Mau apa melakukan hal yang tidak berguna itu?"
Ega tidak bisa menaikkan kembali pandangannya. Dia tidak bisa melihat raut wajah Mira yang marah sama seperti ucapannya yang terdengar sangat kesal. Dia juga tidak bisa melihat raut wajah Daniel yang sangat ia yakini sekarang tengah menatapnya tidak mengerti.
Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menghadapi mereka.
Ini kenyataannya. Suatu fakta yang tak pernah berubah untuk Ega dari dulu. Sekeras apapun Ega berusaha sebelumnya dengan menghapal teks atau melatih diri untuk melawan dan mempertahankan keinginannya, dia tidak akan pernah bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Teen FictionWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...