"Perilaku orang tua menentukan watak untuk anak."
-Ega-
...
Kegaduhan telah berpindah. Sekarang ada di kamar Sean dan itu sangat berisik. Yang awalnya Ega tak mau ikut-ikutan karena takut terkena imbas kini berubah pikiran. Dia penasaran kenapa Sean dan Mira bisa berdebat sampai seperti ini.
"Pokoknya mau! Aku mau seperti Jim, Ma!"
"Tapi Kak, itu tidak mungkin. Teman kamu kan udah terbiasa. Kamu mana pernah--"
"Aku kan udah besar. Jim sama seperti aku. Aku bisa Ma."
"Kalian beda. Mana ada sama-samanya?"
"Kita sama-sama laki-laki kok. Kita juga sekelas. Terus sebangku juga. Satu sekolah juga. Jadi sama."
Tidak ada lagi jawaban atas pernyataan terakhir Sean. Ega tidak mendengar apapun setelahnya, tetapi dia sudah bisa menebak apa yang dipikirkan atau apa yang akan dibalas oleh Mira.
Dan sama seperti Mira, dia juga pasti akan terdiam jika mendapat balasan seperti itu. Tidak mungkin ibunya akan membalas, "Karena kamu itu lambat. Kamu itu susah buat diajak mandiri. Mengerti keadaan pelajaran aja sampai berminggu-minggu. Beda sama temen kamu yang lebih pintar."
Itu sangat tidak mungkin.
Ega menggelengkan kepalanya dan kembali menghela napas. Dia yang masih berdiri di tempatnya, kini bergerak ke arah kamar Sean. Dia harus mengecek dan bertanya perihal apa yang sampai membuat Mira sekesal itu.
Sebenarnya dia juga bingung apa yang sedang mereka bicarakan. Kenapa temannya Sean sampai terbawa dalam topik? Kenapa Sean begitu memaksa? Kenapa Mira begitu keras menolak?
Semua itu pasti dikarena sesuatu yang besar dan mendekati mustahil untuk dilakukan oleh kakaknya.
Tepat ketika Ega berada di ambang pintu kamar Sean, Mira kembali berkata, "Mama bicarakan dulu sama ayah. Kalau kata ayah tidak boleh, kamu jangan memaksa, oke?"
Semarah apapun Mira kepada Sean, dia tidak akan bisa sampai berkata kasar atau membentak hingga oktafnya mencapai tiga. Bagaimanapun itu adalah Sean, anak yang paling disayang dan diutamakan.
Dan sialnya Ega berpikir demikian sekarang, membuat kenangan malam sebelumnya hadir dan menjadi perbandingan untuk kali ini. Rasanya menyakitkan.
Dada Ega merasa sesak. Dia tidak kesulitan bernapas. Hidungnya tidak pilek. Udara pun masuk seperti biasanya. Namun, anehnya paru-parunya seolah tidak ada. Dia bernapas dengan sesuatu yang panas seperti gas beracun. Menyesakkan.
Kapan aku bisa bernegosiasi sama Mama seperti itu?
"Jangan maksa, oke?"
Cih, mana pernah Mama bilang kata 'oke' seolah bernegosiasi dengan kelembutan.
Yang ada pasti gertakan dan paksaan.
"Jangan membantah, jangan membantah!"
Sial.
Setelah membatin kesal, Ega langsung membalikkan badannya tanpa berniat mengetahui lebih lanjut obrolan keduanya. Bahkan ketika pandangannya bertemu dengan netra Mira, dia tidak peduli. Langkahnya terus berlanjut meninggalkan mereka yang kembali tenang.
°°°
Ruang yang besar kini terlihat lengang. Tidak ada cahaya yang terang benderang, hanya lampu dari LCD laptop saja yang menjadi penerang kamar Ega.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Teen FictionWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...