Detik jarum jam terus berjalan melewati sepertiga malam. Angin yang berembus tenang menyelinap pada kusen jendela kamar, dingin menyapu daun telinga yang tidak tertutup apapun.
Ega memejamkan matanya kala merasakan sensasi dingin pada telinganya ketika angin lewat. Kemudian dia kembali membuka matanya dan menutup kedua daun telinganya hingga merasakan rasa hangat melingkupinya. Rasanya nyaman.
Seharusnya pada pukul ini, dua dini hari, Ega sedang berjalan-jalan mengelanai mimpi atau setidaknya berdiam diri di ruang kosong yang gelap gulita. Tidak seperti sekarang ini, masih duduk dengan bersila di atas ranjang sambil membuka buku bahasa Inggris milik kakaknya.
Matanya sudah merasa perih, apalagi saat angin meniupinya dengan lembut, sungguh rasanya minta ditutup selama-lamanya. Inginnya, Ega segera berbaring, menutup buku, dan mengatur pernapasannya menjadi irama yang tenang dan lembut. Namun, semua hal itu tak bisa ia lakukan.
Mengingat apa yang terjadi sebelumnya, pertengkaran itu begitu berdampak besar terhadap hati dan pikirannya. Meski tubuhnya merasa lelah dan minta diistirahatkan sekarang juga, namun pikirannya menolak. Begitu pun dengan hatinya. Kedua komponen penting itu sedang berada di dalam kubu yang sama.
Meskipun hati dan pikiran berada di server yang sama, menolak untuk tertidur, tetapi tetap saja isinya berbeda. Hati dan pikiran tidak dalam jalan yang sama.
Ketika hatinya merasa demikian maka pikiran akan menyanggahnya dan memberikan asumsinya sendiri.
Apa aku salah? Ucapanku menyinggung Kak Sean apa, ya?
Di bagian mana kesalahanku? Perasaan aku tidak berbicara jika Kak Sean itu bego, deh.
Atau mungkin dari awal ucapanku memang salah, ya? Terus aku harus bagaimana?
Ah, tapi memang harus begitu, 'kan? Aku cuma bertanya dan memberi saran. Apanya yang salah dari dua hal itu?
Kak Sean memang lagi sensi kali. Apa dia lagi banyak pikiran? Gara-gara PR ini kah?
Memang sih PR-nya lumayan sulit. Belum lagi tulisannya yang mempersulit PR-nya.
Haiss, aku jadi bingung. Bagaimana ini? Mana aku tidak mengerti lagi. Dari tadi udah mencoba tapi tetap tidak terbaca ini tulisan.
Apa sih? Kenapa Kak Sean jadi sejelek ini? Dia ada masalah apa sih jadi seperti ini i? Apa aku menambah bebannya? Aku jadi masalahnya juga, ya?
Selalu seperti itu. Sekelumit kata yang terus berputar-putar dalam hati dan pikiran Ega. Menjadikannya berseteru tegang sendirian, berperang dingin, dan saling menyahuti tak berkesudahan. Sampai akhirnya pada detik ini. Pemikiran dan batinan gila itu masih hidup.
"Aaarrgh sialan!" umpat Ega.
Dia menyerah pada keduanya. Tangannya menyambar buku, kamus, dan pulpen. Badannya ia gerakan sehingga keluar dari zona kasur. Beralih tempat berpikir, dia akhirnya mendamparkan diri pada meja belajar.
Lampu masih menyala dengan terang. Dia membuka laci dan mengambil camilan yang selalu ia simpan di ruang darurat. Camilan ini dimakan ketika situasi genting saja, semacam waktu sekarang ini. Sungguh sangat genting.
"Bodo amatlah. Isi aja sepaham, setau aku. Paling buruk nanti Kak Sean dapat nilai nol. Bodo amat, yang penting aku bantu," gerutu Ega untuk dirinya sendiri.
Dia juga mengambil ponsel yang sebelumnya tergeletak begitu saja di dekat bantal tidurnya. Ponsel menyala otomatis ketika dihadapkan dengan wajahnya, lalu dengan cepat dia aktifkan data selulernya.
"Kemungkinan pembahasan ini tentang past tense. Jika tidak tentang perfect tense. Bisa juga tentang past perfect tense," pikir Ega.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Ficção AdolescenteWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...