MDB 16| Ketidakadilan

338 42 6
                                    

"Mengalah itu baik, tapi jika terus mengalah ... kupikir itu adalah sebuah kebodohan."

—Ega—

...

Angin kembali berembus, mengusik dedaunan, mematahkan ranting pohon yang tua, dan menerbangkan segala sesuatu yang lemah. Kali ini angin datang lebih besar, menghancurkan tatanan yang terbentuk rapi.

Sama seperti angin ini, kepergian Ega pun membawa badai untuk Sean. Hati dan pikirannya diporak-porandakkan oleh Ega. Semuanya terkena tak terkecuali.

Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalanya. Setiap kali berputar maka hatinya terasa seperti dipanah olehnya. Tertusuk, ditarik kembali, dan tertusuk lagi. Terus begitu.

Entah apa yang salah dengan dirinya, namun mendengar Ega mengatakan kata 'bego' itu sangatlah berbeda efeknya. Padahal dia sudah sering mendapatkannya dari orang lain. Hari-hari dirinya tak terlepas dari kata itu.

Dan ketika Ega yang mengatakannya, itu seperti paku yang baru ditempa. Ketika mampir di hatinya, otomatis membakar dan membuat sesak. Rasanya begitu perih dan menyakitkan.

Ega pasti tidak serius ketika berbicara itu, kan? Itu ... dia pasti tidak sengaja kan? Pasti kupingku yang salah dengar.

Ega beneran bilang bego?

"Sean," panggil Rachel mengusik telinga Sean.

Dia masih setia di tempatnya, menjadi bayang dari pemilik tubuh yang tengah terpaku hebat. Dia bukanlah orang yang dimaksud oleh Ega, tetapi dia bisa merasakan bagaimana kaget dan sakitnya. Karena dia memiliki adik di rumahnya--seperti anjing yang sering mengganggu dirinya--jadi, ia begitu paham bagaimana dihina oleh anggota keluarga sendiri.

Meskipun itu adalah sebuah kebenaran, tetapi tidak semestinya kata-kata itu keluar dengan sebegitu lencarnya. Apalagi sambil dilungkupi perasaan marah. Emosi memang sering menjadi bencana terbesar orang-orang.

Sean masih bergeming, panggilan Rachel seolah ditolak oleh rungunya. Ada sebuah tameng yang melindungi gendang telinganya secara tak kasat mata. Karena pengabaiannya, Rachel kembali berkata, "Jangan dengarkan, Seam. Adikmu cuma lagi emosi. Dia tidak serius berbicara itu."

Sean tahu itu. Dia sempat berpikir demikian. Baru saja. Tak ayal dia berpikir demikian, karena itu adalah kali pertama untuknya. Namun karena itu pula hatinya tak bisa menolak rasa kecewa. Walaupun pikirannya terus berpikiran positif, tetap saja hatinya tidak sejalan.

Lama terdiam, pikirannya berpikir positif yang lain. Dia sadar diri. Kata 'bego' selalu bersanding dengannya. Seharusnya dia terbiasa dengan itu, bahkan jika keluarganya yang bilang. Itu memang suatu kenyataan.

Merasa miris, akhirnya Sean tertawa kecil. Dia tersenyum pahit karena baru menyadari ini. Katanya, "Tidak apa-apa. Aku memang bego kok, Rachel."

•••

Bantingan pintu terdengar begitu keras, menggema, dan menyentak dada. Mira yang sedang di meja makan hampir saja menjatuhkan mangkuk yang berisi sayur sopnya. Karena air sup yang melebihi kapasitas biasa menjadikannya sedikit terguncang hingga akhirnya terciprat ke tangannya.

Mira meringis. Refleks tangannya meletakkan sembarangan mangkuknya dan menjilat jari dan meniup punggung tangannya. Rasa panas dan terbakar langsung ia rasakan.

"Ahss, siapa yang banting pintu sih?"

Begitu pertanyaan kesal itu meninggalkan bibirnya, terdengar langkah kaki yang berisik. Ketika wajahnya terangkat, sosok Ega muncul di hadapannya dengan wajah yang mengerikan.

MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang