MDB 4| Bermain Voli

433 62 5
                                    

"Lemah fisik bukan berarti punya hati yang lemah. Itu kuat untuk sekedar tidak menangis di depan masa."

-Sean-

...

Angin berhembus kencang menggerakan rambut gondrong dengan surai yang curly. Sesekali ujung rambut itu mengusik pelipis halus dan mata yang menatap lurus ke depan. Namun, sentuhan halus itu ternyata tak menjadi gangguan untuk Ega untuk terus berjalan dengan tenang.

Tubuh Ega cukup proporsional di masanya sekarang kelas 3 SMP. Tingginya tidak melebihi 170cm dengan berat badan 55kg. Dengan berat badan sebesar itu, beratnya lebih banyak dihabiskan untuk otot dan juga tulang terlihat dari lengan, dada, dan juga kakinya yang kekar. Ditambah, Ega memang senang work out dalam membentuk massa otot yang lebih sempurna.

Sosok Ega yang seperti ini sesekali mencuri perhatian siswa-siswi yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Padahal mereka sudah sering melihatnya, tetapi tetap saja selalu dibuat kagum dan terpesona dengan rahang yang sudah terbentuk (akibat mewing yang sering ia lakukan setiap pagi), aroma tubuhnya yang sering menyebar, kulitnya yang cerah dan tidak kusam, bibir tipis yang tidak gelap, hidung mancung, mata bulat yang selalu menunjukkan ketidakpedulian atas sikap dan wajahnya yang jarang menampilkan ekspresi selain datar dan malas.

Satu musik berganti bersamaan dengan dirinya yang berbelok. Dan ketika itu matanya langsung mendapati Brian yang berjalan mondar-mandir tak tentu arah.

Ega terus mendekat tanpa menciptakan suara yang kentara. Keberadaannya diketahui ketika dirinya sudah berada dua meter lebih dekat dengan Brian.

"Ck, si bayi anjing ini," decak Brian dengan kilat mata yang terlihat jelas bahwa dirinya menahan kekesalan yang mendalam.

Dengan kalemnya Ega membalas, "Ada waktu semenit lagi. Lihat?"

Dia juga menunjukkan ponselnya yang menyala dan menampilkan pukul 3:59 pm.

"Bukan gitu aturannya kali," cibir Brian menahan kesabarannya. "Aku tadi udah disamperin dua kali. Bayangkan dua kali!"

"Biasanya juga tiga." Ega memasukkan ponselnya ke tas gendong bagian depannya. Lalu melanjutkan, "Masuk. Nanti telat, kita juga yang dimarahi."

Dan pergi begitu saja meninggalkan Brianl yang melongo tidak percaya atas apa yang telah ia dengar.

"Itu anak beneran minta di-smash," umpat Brian dan bergerak juga.

Dia masuk setelah Ega masuk dengan tenang dan santai. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ega itu merasa bersalah atau apa. Ega dengan santainya menyapa dan tersenyum kepada mereka yang melihat dengan sebal.

Brian jadi merasa miris kali ini. Di dalam hatinya dia menjerit. Dia sungguhan menangis dari dalam. Rasanya jiwa ingin kaburnya semakin kuat. Apalagi setelah melihat si senior yang tadi yang kini tengah mendekat sambil membawa selembar kertas.

"Maaf Kak, tadi telat. Guru minta tolong bawain buku dulu ke perpus," kilah Ega, menjelaskan alasan telat tanpa diminta.

Padahal tadi si senior ingin nyerocos panjang tentang ketelatan mereka yang membuatnya panas dari dalam. Namun, mendengar keterangan tersebut, mau tak mau dirinya harus menelan semua emosi dan ucapan yang sudah berada di kerongkongannya itu. Dia jadi hanya tersenyum sabar dan mengangguk mengerti.

Brian dua kali kaget kali ini. Pertama, dari alasan Ega yang di luar dugaan--biasanya Ega tidak suka membuat alasan--yang sangat tak biasa. Kedua, dari reaksi si senior yang tidak bisa membantah sedikit saja. Padahal tadi kepadanya tidak seperti itu. Ini sungguh aneh dan luar biasa tak adil menurutnya.

MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang