Pagi hari yang tidak dinantikan tiba.
Matahari sudah bergerak tetapi awan tak memberinya izin untuk menyinari bumi. Dengan sekumpulan tentara awan hitamnya yang sudah menyebar, langit tak bisa berbuat apa-apa. Langit yang berdiri tanpa tiang dan alat gantung hanya bisa menyaksikan dirinya ditutupi oleh tebalnya awan pembawa hujan. Pun dengan matahari, dia tidak bisa melakukan apa-apa.
Ega merasa jengkel dengan ketidakmunculannya sinar mentari yang hangat. Rasa dingin menyergapnya dan menusuk setiap bagian kulit yang tidak terlapisi kain. Rasanya sungguh buruk.
Mengingat percakapan dengan Mira semalam, rasa dingin ini tak berarti apa-apa dibanding dengan rasa galaunya saat ini. Dia yang harus minta maaf kepada Sean dan bersikap kembali normal, mana bisa merasa tenang.
Berpikir sekilas saja hal itu rasanya sangat tidak nyaman. Dia tidak mau meminta maaf untuk hal yang tidak sepenuhnya kesalahannya. Itu tidak adil. Dia merasa dinomorduakan lagi.
Dan bagaimana dengan permintaan Mira yang selanjutnya? Harus kembali biasa saja setelah perdebatan hebat kemarin sore. Rasanya terlalu mustahil untuk terjadi. Ega merasa tidak akan bisa kembali normal, kecuali jika kakaknya secara bodoh melupakannya dengan senang hati.
"Kakak jenis orang yang sering ketawa, 'kan? Masalah kemaren pasti dianggap biasa aja, 'kan?"
•••
Ruang makan begitu senyap pagi ini. Semuanya hanyut dalam proses penghabisan sarapan masing-masing. Hampir semua terlihat biasa saja, menikmati makanan, tenang, dan santai. Kecuali untuk Ega.
Beberapa kali Ega melirik ke arah Sean. Dirinya yang mengambil posisi yang berhadapan dengan Sean, mempermudahnya untuk mencuri pandang ketika mengunyah makanannya.
Untung saja Sean tidak terlalu memperhatikan. Wajahnya biasa saja dan tidak ada gambaran seperti terusik atau merasa canggung.
Hanya Ega di ruangan ini yang merasa bahwa semua orang tengah mendiaminya. Dia merasa suasananya terlalu mati untuk keluarganya yang biasa hidup. Walaupun dirinya tak biasa meramaikan suasana, tetapi setidaknya kakaknya atau ayahnya akan berisik. Dan sekarang justru tidak sama sekali.
Pikiran Ega langsung mengarah pada Mira. Ibunya yang sensitif kepada Sean pasti sudah mengatakan sesuatu kepada ayahnya sehingga seperti ini. Over thinking tentang semuanya tengah terjadi di dalam pikiran Ega yang tengah berseteru.
Kelereng mata Ega kembali pada Sean dan seketika terjatuh pada netra hazel yang dalam di hadapannya. Sungguh, Ega merasa tengah melihat tempat yang sunyi di mata Sean yang sayu.
Kak Sean--
"Kenapa Dek?"
Seolah bisa membaca pikiran Ega, Sean menyela untuk bertanya. Dan itu membuat Ega tersentak dalam diam.
Tanpa berniat membuang wajahnya yang sudah kepalang jatuh dalam selokan, Ega membalas, "Berangkatnya bareng."
Setelahnya langsung melanjutkan makannya lagi sampai habis tanpa melirik ke arah Sean lagi. Lagi pula dia tidak ingin melihat bagaimana respon dari wajah kakaknya itu. Cukup dengan mengatakannya dan selesai. Untungnya Sean tidak mengatakan apa-apa, jadi itu bisa ditafsirkan menjadi sebuah penerimaan.
Dan memang benar, Sean hanya mengangguk tanpa berbicara. Dia menerima seperti biasa, hanya saja malas untuk berucap. Matanya lebih banyak bekerja dari pada mulutnya. Dia sedang sibuk memperhatikan bagaimana raut wajah Ega setelah mengatakan semua itu.
Lucu. Menurut Sean ada sebuah kelucuan di sana. Itu membuat perut dan hatinya tergelitik. Rasanya menyenangkan. Seolah kelucuan Ega adalah segalanya, rasa sakit yang kemarin pun hilang karena malu. Sean ini sungguh berhati malaikat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Teen FictionWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...