Dua kali kepergok bermain ponsel--yang kedua padahal belum sama sekali--membuat Ega kapok. Dia langsung menonaktifkan daya ponselnya selama pelajaran berlangsung, bahkan pada waktu istirahat pun masih dimatikan. Itu dikarenakan dirinya kesal dan malas melihat ponsel yang membuatnya dalam masalah dengan Pak Abim.
Sampai akhirnya bel berdering pertanda pulang sekolah barulah Ega mengaktifkannya. Dan ketika ponselnya menyala dia langsung masukkan ke dalam tas bagian terdalam. Dirinya masih malas melihat ponsel dan isinya.
Ega' keluar kelas bersama dengan Brian dan Koko yang berada di belakangnya. Berangsur-angsur teman-temannya pun mengikuti, keluar dengan berantai seperti anak itik.
Pada koridor kelas IX ini, mereka yang memiliki bimbel untuk mata pelajaran yang akan diujikan memilih jalan ke kiri, sedangkan Ega ke kanan. Tidak hanya Ega, Brian dan Koko pun begitu. Pertanda sekali jikalau mereka tidak akan mengikuti kelas bimbel hari ini.
"Eh, kalian!" panggil Lubis ketika Ega, Brian, dan Koko berpisah dengan rombongan kelasnya. "Mau ke mana lagi kalian? Jangan bolos kelas bimbel lagi."
Ega terus melangkah, mengacuhkan. Kedua bibirnya malas terbuka untuk menjawab pertanyaan dari Lubis. Dia menyerahkan hal itu kepada dua temannya.
Koko akhirnya bereaksi. Dia menoleh, nyengir, lalu menjawab dengan santai, "Kita ikutan kelasnya bareng sama kelas sebelah."
"Mana bisa!"
"Bisa, bisa. Anak voli pada ikutan kelas bimbelnya nanti."
"Kalian--kalo Pak Neo sampe tau yang ada nanti dimarahin." Lubis memisahkan diri untuk mendekat ke arah mereka. Dia melanjutkan ucapannya, "Mementingkan voli daripada belajar, kalian pasti akan terkena masalah."
Langkah kaki Ega berhenti. Ucapan Lubis barusan mengetuk pintu hati dan pikirannya. Percakapannya dengan orang tuanya tempo hari jadi terputar dan membuat hatinya tak karuan.
Aishh menyebalkan sekali.
Setelah batinnya berucap demikian, pikirannya menitah untuk kakinya menyamping dan kepalanya menoleh. Lalu bibirnya terbuka untuk berkata, "Jika seperti maka jangan sampai Pak Neo tau, Lubis."
"Tap--"
"Kalau Pak Neo sampai tau, itu berarti kamu yang memberi tau," potong Ega, cepat. Tidak ingin mendengar apapun lagi.
Brian dan Koko menyetujui ucapan Ega dengan memberikan senyuman yang sedikit lebar dan manis. Itu seharusnya bagus dan tampak indah, tetapi karena aura Ega yang terasa dingin, maka keindahan dari senyumannya berubah menjadi mengerikan. Itu seperti senyuman seorang pengancam.
Lubis tak berkutik. Lidahnya terasa berat untuk diangkat dan lagi kata-katanya terasa dihantam oleh sebuah pukulan udara yang padat. Dia terdiam menyaksikan kepergian mereka. Dia kalah.
•••
Dan di sinilah Ega dan Brian berada, lapangan indoor. Bersama dengan teman-temannya yang lain, mereka sedang ganti baju.
Ketika semua sedang sibuk berganti, Brian justru sibuk berpikir. Dia bertanya kepada Ega, "Kira-kira si Lubis akan mengadukan kita?"
"Minta dihajar kalo iya," jawab Ega.
"Emang kamu berani?"
"Tidak sih."
Brian menampilkan ekspresi malasnya. Rasanya sebal mendengar Ega berkata demikian. Sok-sokan doang si anjir.
Ega tak peduli dengan jenis eskpresi Brian sekarang. Dia meneruskan ganti bajunya dan menyelesaikannya dengan cepat. Kini penampilannya sudah berganti dengan outfit yang santai. Celana olahraga hitam dengan garis tiga di pinggirannya, kaos longgar putih, dan headband berwarna hitam pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Teen FictionWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...