Nineteen

50K 3.3K 216
                                    

“Gue setuju!” Iva berseru usai menjentikkan jari.

Sementara Lara, gadis itu menerawang pada dinding di depannya. Ia menimang usulan Via barusan. Kalau dipikir tidak ada salahnya kalau ia menceraikan Luka. Akan tetapi, apakah bisa ia meninggalkan Luka?

“Ra? Gimana?” Via mengelus pundak gadis bernama Lara itu.

Helaan napas lelah terdengar; Lara menatap kedua sahabatnya sendu. Ia pun tak tahu apa yang harus ia pilih. Meninggalkan Luka? Ataukah bertahan bersama rasa sakit?

“Inget, Ra. Dia udah torehin banyak luka sama lo. Mending lo tinggalin aja cowok bangsat kayak dia." Iva memang sulit mengontrol mulutnya untuk mengeluarkan kata-kata mutiara.

“Aku .... ” Lara ragu jikalau ia harus menceraikan Luka.

Di sini dia sebagai pihak wanita, percuma kalau ia mengatakan ingin cerai pada Luka kalau akhirnya Luka menolak perceraian mereka. Namun, apakah bisa dipercaya Luka menolak perceraiannya?

Lara terkekeh sumbang membuat dua sahabatnya itu saling memandang. Via mengangkat bahu kala Iva bertanya lewat mata.

“Ra,” panggil Iva.

“Aku, kan, istrinya, kalo minta cerai pasti susah. Gimana kalo nanti Luka nolak perceraian yang aku ajuin? Tapi aku juga ragu Luka nolak perceraian aku.”

Alis Iva saling bertaut. “Itu lo tahu.”

“Tapi, Va. Gimana kalo nanti Noemi gak bisa urus Luka? Terus Mama Eva juga. Aku gak mau bikin Mama Eva sedih. Dia udah terpukul Luka mau nikah lagi, dia juga pasti terpukul lagi kalo aku mau ceraiin Luka. Aku gak mau bikin dia sedih. Mama Eva itu udah aku anggep Ibu aku sendiri, jadi aku gak mau jadi anak durhaka."

"Emang sih perceraian juga bisa ngelepasin aku dari jeratan penderitaan ini, tapi gimana Mama Eva nantinya? Dia butuh aku, dia udah naruh kepercayaan sama aku, gak mungkin, kan, aku harus menghapus kepercayaan beliau?”

Suara Lara terdengar getir, ia menelungkup wajahnya sendiri— menyembunyikan tangisan juga wajah merahnya.

“Lara .... ” Via bergerak jongkok di depan Lara. Mengambil tangan mulus gadis itu dan mengusapnya lembut.

Tatapan Via mengingatkan Lara pada Eva. Ia mudah luluh kalau sudah ditatap teduh seperti itu.

“Lo tuh cewek tersabar dan baik yang pernah gue temui. Lo itu meski Luka udah nyakitin lo, tapi lo tetap mau bertahan buat dia cuma karena Mamanya Luka.” Via menggenggam erat tangan Lara.

“Ra. Gak ada yang harus lo pertahanin dalam hubungan lo sama Luka. Luka udah sakitin lo, dia udah selingkuh sama sahabat lo sendiri, parahnya lagi dia selingkuhnya terang-terangan. Lo itu cewek baik, enggak pantes sama cowok modelan Luka. Perihal Mamanya Luka, lo gak usah mikirin mereka, secara lo sendiri aja gak bahagia. Ra, asal lo tahu, jangan pernah mikirin kebahagiaan orang selama lo belum pernah bahagia."

"Gimana caranya lo ngebahagiain orang lain kalo lo sendiri aja enggak bahagia? Bagi gue, perceraian ini langkah awal buat ngeraih kebahagiaan lo. Gue tahu lo cinta sama Luka, tapi buat apa kalau cinta lo itu gak bisa bikin lo bahagia? Percuma, mending lo hapus cinta itu, cari kebahagiaan lain.”

Penuturan panjang Via membuat Lara meluruhkan tangisannya. Jarang sekali Via memberikan wejangan pada seseorang. Ini juga pengalaman pertama Lara diberikan wejangan oleh Via. Ia kira Via memang murni bodohnya dan tak bisa menjadi dewasa. Namun, rupanya tidak.

L for Langgeng [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang