Lara terbangun dengan susah payah. Perut besarnya menyulitkan dia melakukan apapun bahkan tidur sekalipun. Biarpun demikian, dia tetap mensyukurinya sebab ini adalah sebuah anugrah yang Tuhan berikan.
Sembilan bulan telah berlalu, dan ini adalah bulan dimana Lara juga semua orang nantikan, bulan sosok yang di dalam kandungannya terlahir ke dunia. Menurut perkiraan dokter, Lara akan melahirkan sekitar empat hari atau seminggu lagi. Belum ada kejelasan yang tepat.
“Hati-hati bangunnya,” perintah Luka. Dia membantu sang istri untuk bangun dari ranjang.
Melihat istrinya yang meringis menahan sakit, Luka jadi gelisah sendiri. Tidak biasanya Lara menahan sakit seperti itu, biasanya hanya akan meringis udah gitu minta bantu untuk dimandikan. Memang manja bumil satu ini.
“Sakit banget. Pengen buang air besar,”
Luka menaikkan alis sebelum akhirnya dia menjawab, “kamu mules?”
Lara mengangguk. Ringisan semakin kuat hingga ia gigit bibir bawahnya. Dia mengelus-elus perut buncitnya berusaha tennag.
“Mending kamu tidur lagi aja. Aku siap-siap dulu, ”
Melihat Luka yang terburu-buru Lara heran. “Mau kemana?”
“Kayaknya kamu mau lahiran deh, yang. Kemarin kan kata dokter kalo udah mules-mules berarti mau lahiran,” tutur Luka. Tak ayal dirinya disibukkan dengan aktivitasnya sendiri.
“Jangan dulu. Percuma. Nanti kita disuruh pulang lagi. Kayak tetangga sebelah. Mules-mules pergi ke rumah sakit malah disuruh pulang. Jangan dulu deh. Aku males kalo harus bolak-balik,”
“Tapi, yang—”
“Jangan dulu,” desis Lara.
Luka mengembuskan napas pasrah. Dia menaruh baju yang tadi sempat ia ambil dari lemari. Mendekati istrinya lalu memeluk tubuh gemuk itu.
“Aku takut,” dia mengeluarkan isi hatinya.
Lara mengusap punggung tangan Luka agar lelaki itu tenang. “Iya aku tau,”
“Aku takut kamu sama anak kita kenapa-napa,”
“Aku gapapa. Ini cuma mules doang. Nanti juga ilang,” alibi Lara. Walau dia sedang menahan sakit, tetapi ia tahan takut Luka khawatir lagi. Dia tidak mau membuat suaminya itu khawatir yang berlebihan.
“Hmm. Nanti kalau ada apa-apa panggil aku. Aku keluar,” ucap Luka lalu mencium lama kening Lara dan akhirnya dia pergi menyisakkan Lara yang menahan sakit.
“Arghhhhh. Shhhh ... S-sakit,” rintih Lara usai Luka berlalu. Perut buncitnya dia usap guna menghilangkan rasa sakit di sana.
Napas tersengal-sengal bagaikan orang sehabis berlari sejauh seribu kilo meter lolos dari bibir pucatnya. Buliran keringat sebesar biji jagung keluar dengan sendirinya. Lara semakin merasakan mulas yang luar biasa. Dia ingin membuang rasa mulas tersebut. Namun, tak tahu bagaimana caranya. Berdiri saja sulit, apalagi berjalan.
***
Kopi panas mengepulkan asap hingga terciumlah aroma khas dari kopi tersebut. Luka menatap kosong pada kopinya. Entah kenapa dia kepikiran Lara yang masih di dalam kamar. Sudah sepuluh menit dia menunggu istrinya. Namun, belum kunjung keluar juga.
“Non Lara belum keluar, den?” tanya Bi Riri yang sama cemasnya. Biasanya Lara sudah turun setelah ataupun sebelum Luka turun.
“Mending liat dulu, den. Takut non Lara kenapa-napa,” khawatir Bi Riri.
Kemudian Luka beranjak meninggalkan hidangannya. Hari ini dia tidak pergi ke kantor, mengingat sang istri sedang mengandung besar, ia selalu khawatir jika terjadi apa-apa dengan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
L for Langgeng [END]
Teen Fiction"𝗕𝗮𝗿𝘂 𝗮𝗷𝗮 𝗺𝗮𝘂 𝗺𝗼𝘃𝗲 𝗼𝗻, 𝗺𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗱𝗶𝗷𝗼𝗱𝗼𝗵𝗶𝗻." *** Siapa yang tidak senang dijodohkan dengan crush sendiri? Hampir sejuta umat mengatakan iya. Begitu juga Lara. Senang dan sedih menyatu begitu kabar orang tuanya tewas dalam k...