"Iya, Rin. Aku tahu! Ok, hal itu memang ada baiknya kita bicarakan secara langsung. Baiklah sampai ketemu nanti."Shayra yang baru terbangun mendengar perkataan Adien yang berada di balkon kamar mereka, membuatnya mengerut heran dan bertanya-tanya dalam hati.
'Rin siapa yang berani-beraninya menghubungi suamiku pagi ini? Sial itu sebenarnya siapa sih, dari kemarin centil amat terus telepon-telepon terus!'
Shayra menguap lantas beranjak dan mengikat rambutnya dan menghampiri Adien di balkon kamar mereka.
"Kamu sudah bangun," celetuk Adien kaget saat menemukan Shayra sudah berada dibelakangnya saat berbalik.
Shayra mengangguk singkat. "Hm, iya. Oh, iya kamu ingin sarapan apa pagi ini?" tanya Shayra perhatian seperti pagi mereka biasanya.
Terlihat Adien menghela nafas lega dan mengelus kepala Shayra singkat ditambah kecupan singkat di pagi hari seperti biasanya.
"Nasi goreng dengan dua telor mata sapi setengah matang," jawab Adien singkat dan datar sebelum kemudian berlalu masuk ke dalam kamar mandi.
Menyaksikan tingkah Adien demikian, Shayra sedikit sakit hati dan merasa perhatian Adien berkurang kepadanya. Dengan wajah ditekuk wanita itu berjalan ke dapur dan memasak sarapan untuk Adien dan membuat susu hamil untuk dirinya sendiri.
Tepat setelah selesai dengan masakannya, Adien datang dengan pakaian rapih dan duduk di meja.
"Kok nggak nunggu aku sih?" Protes Shayra.
Biasanya Adien akan setia menanti Shayra selesai mandi dan bersiap baru kemudian menyusul. Persetan dengan Shayra yang bangun telat atau mereka akan terlambat kerja. Adien pasti akan selalu melakukan hal itu sambil menggoda juga menjahi Shayra di pagi hari.
Namun pagi ini berubah, Adien tak seperti pagi-pagi mereka sebelumnya. Pria itu bahkan terlihat sopan dan bahkan belum melancarkan kemesumannya pada Shayra. Secepat itukah pria itu bosan pada Shayra, sama seperti dirinya sudah bosan dengan menu makan siang dan malam yang itu-itu saja, yakni ayam kecap pedas manis bagian sayapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagaimana Mungkin? [END]
General FictionShayra Anindya terpaksa harus menikah dengan Adien Raffasyah Aldebaran, demi menyelamatkan perusahaan peninggalan almarhum ayahnya yang hampir bangkrut. "Bagaimana mungkin, Mama melamar seorang pria untukku, untuk anak gadismu sendiri, Ma? Dimana-ma...