"Ada apa, Shayra? Apa kamu kembali sakit tidak enak badan dan nggak enak makan, hmm ..." celetuk Dinda mengomentari kelakuan Shayra yang terus mengaduk makanannya tanpa nafsu untuk menghabiskannya.
"Hmmm ..." Shayra berdehem lesu tak tertarik menjawab pertanyaan Dinda, namun tetap saja Shayra memaksakan diri untuk menjawab agar Dinda tak sakit hati dan tidak merasa diacuhkan. "Ya ... mmm-aku sakit lagi. Sangat kesakitan menderita sakit lebih sakit dari penyakitku yang sebelum-sebelumnya."
"Apa!!" Kaget Dinda berseru dengan suara lumayan kencang disertai petototan setelah mendengarkan pernyataan Shayra.
Hal itu mengakibatkan orang-orang yang juga berada dikantin perusahaan menatap kearah mereka dengan herannya. "Maaf-maaf ..." sambung ibu hamil itu tersadar, meringis sambil menyengir malu menatap orang-orang yang menatapnya dengan aneh.
Dinda kembali beralih menatap Shayra yang kelihatan keadaannya masih sama, lesu kehilangan separuh semangat hidupnya.
"Kamu beneran sakit ya, Shayra?" Tanya Dinda mengulang kalimatnya untuk memastikan.
Shayra mengangguk lemah menyetujui perkataan Dinda.
"Kamu sedang sakit, menderita penyakit yang rasanya lebih sakit dari yang sebelum-sebelumnya?" Tanya Dinda dan kembali diangguki Shayra.
"Sudah periksa ke dokter?"
Shayra menggeleng pelan. "Belum."
"Baiklah nanti aku akan menemanimu melakukan pemeriksaan ke dokter. Tapi sebelum itu, sekarang katakan kepadaku, bagian mana saja dari tubuhmu yang terasa tidak enak atau ngilu, sesak atau apalah itu. Kamu merasakan sakitnya bagian tubuh yang mana?" Tanya Dinda dengan cerewetnya mengkhawatirkan Shayra.
"Kepalaku terasa pening, tenggorokanku seperti tercekak juga kering dan nafsu makanku pergi menghilang entah kemana. Bahkan ngeliat makanan rasanya sudah enek dan mual sekali. Bukan cuma itu tubuhku pun rasanya lemas sekali. Mmm ... apakah ini gara-gara habis mendebat si penyihir dan Adien, ya?" Shayra menjelaskan dengan suara pelan dan masih mengaduk makanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagaimana Mungkin? [END]
Narrativa generaleShayra Anindya terpaksa harus menikah dengan Adien Raffasyah Aldebaran, demi menyelamatkan perusahaan peninggalan almarhum ayahnya yang hampir bangkrut. "Bagaimana mungkin, Mama melamar seorang pria untukku, untuk anak gadismu sendiri, Ma? Dimana-ma...