Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).
_Q.S An-Nur ayat 42_
🄷🄰🄿🄿🅈
🅁🄴🄰🄳🄸🄽🄶
**✿❀ J B R ❀✿**
Sang mentari telah menghilang dari langit, menyisakan sisa cahaya mega merah di ufuk barat. Jangkrik berbunyi bersahut-sahutan menambah kentalnya nuansa pedesaan yang asri dari hiruk pikuk kota.
Angin malam berembus kencang meniup batang padi yang mulai merunduk siap untuk di panen, menambah suasana syahdu.
Aulia dan Aida tengah duduk di belakang rumah yang dekat dengan sawah. Udara dingin malam yang menusuk tulang pun tak mereka hiraukan.
Air mata tak henti menetes dari pelupuk mata kedua perempuan itu. Mereka memandang dua ayunan dari bambu yang mulai rapuh termakan oleh usia. Sesekali, mereka mengusap lembut ayunan itu sambil mengingat memori masa lalu.
Aida dan Aulia sedang mengamati ayah mereka yang sibuk membuat ayunan. Kedua gadis kecil itu merengek kepada ayahnya meminta diajak jalan-jalan mengelilingi desa menggunakan sepeda.
"Abi, ayo kita jalan-jalan naik sepeda," ajak Aulia menggoyang-goyangkan lengan ayahnya.
"Abi lagi buat apa, sih?" tanya Aida yang juga jengah menunggu ayahnya.
"Abi lagi buat mainan, Nak."
"Mainan?" tanya Aulia antusias.
"Iya, dua ayunan untuk Lia dan Ida," ucap Abdurrahman sambil menaikkan kedua putrinya ke atas ayunan yang baru saja dibuatnya.
Abdurrahman berjongkok untuk menyamai tinggi tubuhnya dengan kedua putrinya.
"Ida sama Lia seneng nggak?" tanya Abdurrahman.
"Seneng. Terima kasih, Abi."
"Iya, sama-sama. Setelah ini, kalian bisa nunggu waktu buka puasa dengan main ayunan ini," ucap Abdurrahman membuat kedua putrinya terdiam.
"Kok kalian diam?"
"Lia maunya nunggu waktu buka puasa sambil naik sepeda sama Abi," ucap Aulia membuat Abdurrahman menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Kedua tangannya terulur mengusap kepala kedua putrinya lalu mengecup pelipis mereka bergantian.
"Abi nggak bisa terus-terusan ngajakin kalian sepedaan setiap sore, kan?" tanya Abdurrahman membuat Aulia dan Aida menarik ujung bibirnya ke bawah.
"Abi," lirih Aulia sambil memeluk leher ayahnya dan menangis di sana. Hal itu diikuti juga oleh Aida yang entah mengapa ingin sekali memeluk erat ayahnya.
Abdurrahman tersenyum dan mengelus lembut punggung kedua putrinya.
"Jangan nangis. Anak Abi nggak boleh nangis," ucap Abdurrahman sambil menyeka air mata di pipi Aulia dan Aida.
Azan magrib berkumandang merdu membuat kedua anak dan ayah itu masuk ke dalam rumah untuk berbuka puasa bersama.
"Ida sama Lia mau Abi suapin nggak?" tanya Abdurrahman sambil menyodorkan sebuah kurma ke depan Aulia.
"Mau, Abi," jawab keduanya antusias. Abdurrahman menyuapi mereka masing-masing dua buah kurma, tak lupa juga menyuapi sang istri, Khadijah.
Siapa sangka jika itu adalah suapan terakhir dari Abdurrahman untuk keluarganya? Siapa sangka jika ayunan baru itu menjadi peninggalan terakhir untuk putri-putrinya di bulan Ramadan?
Abdurrahman meninggal dalam perjalanannya menuju ke masjid karena tertimpa oleh pohon besar yang tumbang oleh angin. Matinya menjadi syahid karena dalam perjalanan melaksanakan syariat Islam.
Aulia memperhatikan biji kurma yang ia letakkan di ujung tasbih miliknya. Ya, biji kurma itu adalah biji kurma yang Aulia makan disuapi oleh ayahnya.
"Abi," lirih Aulia memeluk erat tasbih itu. Aida mengusap pelan punggung Aulia.
"'Wa lillaahi mulkus-samaawaati wal-ardhi wa ilaihil-mashir', 'dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)'. Itu udah takdirnya Abi, Lia. Memang hanya segitu waktu yang Abi punya buat kita."
"Besok memasuki bulan Ramadan, dan ini adalah Ramadan ke tujuh belas kita tanpa Abi, Kak."
"Kakak tau. Kakak juga rindu Abi, tapi yang Abi butuhkan sekarang adalah doa, bukan air mata," ucap Aida membuat Aulia memeluk erat kakaknya.
Dari kejauhan, Khadijah sedang mengamati interaksi kedua putrinya sambil tersenyum masam. Memorinya memutar kilasan suara yang tak pernah ia lupakan seumur hidupnya.
Khadijah dan kedua putrinya menangis tersedu saat melihat darah mengucur deras dari kepala Abdurrahman. Saat ia dan putrinya hendak melaksanakan salat magrib, beberapa warga datang ke rumahnya dengan membawa suaminya yang telah berlumuran darah.
"Dijah, tolong jaga putri-putri kita," ucap Abdurrahman sambil tersenyum menatap lembut kedua anaknya yang sedang menangis memegang lengan kanannya.
"Kita jaga mereka bareng-bareng, Mas. Kamu bertahan, kita ke rumah sakit sekarang."
"Nggak perlu, Dijah. Mungkin memang jalan aku seperti ini. Cukup jaga mereka berdua sampai mereka bertemu jodoh mereka, maka tanggung jawab aku sebagai ayah tergantikan oleh suami mereka."
Aida dan Aulia menangis dengan keras membuat Abdurrahman tersenyum dan meneteskan air matanya.
"Ida, Lia, jagain Umi, ya. Jangan nakal, jangan tinggalkan salat, jangan pernah lupakan Allah."
"Abi s—sembuh, ya. Lia sama Kak Ida j—janji nggak bakal suruh Abi ajak kita sepedaan sore lagi, Lia juga janji bakal segera hafal semua surah di juz tiga puluh," ucap Lia sambil terisak.
Belum sempat Aulia dan Aida mendapat jawaban, ayah mereka telah lebih dahulu mengucapkan syahadat lalu mengembuskan napas terakhirnya.
Air mata Khadijah lolos dari pelupuk matanya yang mulai mengeriput. Matanya tersenyum menatap Aulia dan Aida yang tengah berpelukan.
"Tugasku akan segera usai, Mas."
.
.
.
.
.
Vote ya.
Salam
Dita Lestari
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Bulan Ramadan (TAMAT)
Novela Juvenil🥈Juara 2 Festival Ramadan with Nezha Publisher 'Perawan Tua' adalah gelar yang disematkan oleh penduduk desa setempat untuknya. Usia dua puluh empat tahun sebenarnya masih terbilang muda untuk usia menikah. Namun, bagi penduduk desa usia matang men...