﷽
Happy Reading
Di sisi lain terdapat seorang pria yang sudah dua bulan seperti mayat hidup, rahang yang ditumbuhi bulu brewok yang cukup lebat di tambah rambut hitamnya yang mulai gondrong. Benar-benar seperti seseorang yang tak terurus sama sekali, bahkan kamarnya kini terlihat seperti gudang dengan pakaian yang berserakan di mana-mana dan pecahan kaca juga menghiasi tempat itu.
Jemarinya tak pernah melepaskan bingkai foto yang menampilkan dirinya dan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya. Dirinya hanya bisa meringkuk di bawah tempat tidur acak-acak itu dengan air mata yang terus mengalir dari sudut mata tajamnya yang terlihat sayu itu.
Tak pernah terbayangkan oleh dirinya, akan datang hari dimana dirinya akan kehilangan kembali orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Sungguh rasanya begitu menyakitkan dan menyesakkan, seakan dirinya kehilangan arah dan tujuan dalam hidupnya.
"Sayang, kamu nggak bisa pergi ninggalin aku. Kamu segalanya untukku, kamu tahu. Seberapa keras kamu pergi aku akan selalu menjadi Suamimu. Tak akan kubiarkan laki-laki lain berani mengambil posisi berharga itu. Maafkan aku ya, aku salah, aku bodoh, aku nggak berguna, aku nggak bertanggung jawab. Bisanya cuman nyakitin kamu, kekanak-kanakkan lagi. Aku cinta sama kamu Sayang, aku merindukanmu Sayang, kamu segalanya untukku kamu tahu itu kan. Pulanglah Sayangku, Humairaku...Istriku Khadijah cintaku. Maafkanlah diriku Sayang, aku tak bisa bila tanpamu." Lirih pria itu sambil mencium wajah perempuan yang terpampang di bingkai foto itu.
Kalau kalian menebak itu Azzar, benar sekali. Dirinya seperti seseorang yang tenggelam dalam rasa penyesalan begitu mendalam. Tak pernah ia inginkan hidupnya seperti ini, ia ingin istri dan anaknya selalu disampingnya. Tetapi dirinya malah membuat kesalahan fatal yang membuat istrinya begitu kecewa terhadapanya.
"AKKKKKKKKKKKHHHHH."
*Pyar...pyar...bug...bug*
Suara kaca yang hancur dan darah yang mengalir di siku jarinya karena meninju apapun untuk melampiaskan amarah dan sesalnya menggema ke seluruh penjuru kamar.
"Seharusnya gue ngak nyembunyiin hal ini dari Dijah, bodoh lo Zzar. Brengsek. Akkkkkkkkkkkhhhh."
Quick Flashback
Azzar merasakan ada yang tidak beres dengan hatinya sejak seminggu belakangan ini, bukan tanpa alasan dirinya tak pulang dan memberi kabar pada Istrinya. Karena ada masalah yang cukup rumit yang harus ia hadapi saat ini, ia tak mau Istrinya khawatir atau sampai meninggalkannya apabila ia mengetahui hal ini. Tetapi karena perbuatannyalah Azzar tak akan bisa mengira karena perbuatan dirinya yang mencoba membuat Istrinya tidak salah paham malah menjadi penyebab Istrinya nanti pergi.
Tepat hari ke delapan, Azzar memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Dirinya hanya bisa berdoa semoga Dijah dan anaknya baik-baik saja, sungguh dirinya sangat-sangat merindukan Istrinya itu.
Bahkan dirinya ketika berada di supermarket tadi sekilas dirinya melihat seorang wanita yang tampak begitu mirip dengan Dijah, tetapi wanita itu langsung pergi dengan bahu bergetar. Entahlah dirinya menjadi semakin khawatir kepada istrinya.
*Cklek*
Azzar membuka pintu utama rumah yang ia tinggalkan satu minggu ini, entah mengapa firasatnya semakin tak enak.
"Assalamualaikum, Sayang. Dijah, Dijah kamu dimana Sayang."
"Dijah? Dijah?"
Azzar mulai panik, dirinya mengelilingi setiap sudut rumahnya. Hingga ia berhenti di kamar milik dirrnya dan juga istrinya.
Kamar itu terlihat masih rapi dan wangi tubuh Dijah masih begitu tertinggal di dalamnya, ingin dirinya langsung membawa belahan jiwanya itu ke pelukannya. Tetapi itu hanya khayalannya saja, kini ia terduduk seketika begitu melihat lemari yang biasa diisi oleh pakaiannya bersama Dijah sudah kosong dan tersisa pakaiannya saja.
"DIJAAAAAAAH, jangan tinggalin aku."
*Bug...bug...bug*
Azzar semakin tak terkendali sambil terus memukul lemari dan menendangnya hingga retak tak berbentuk. Dirinya mengacak rambutnya frustasi, mengapa dirinya bisa begitu bodoh dan tak tahu diri seperti ini.
Ketika ingin pergi untuk mencari Dijah, dirinya terpaku pada lipatan kertas berwarna putih dengan benda berkilau yang ada di atasnya.
Dengan tangan gemetaran, Azzar mulai membuka lembaran kertas itu. Begitu membukannya, setetes air mata jatuh membasahi kertas bertuliskan kalimat yang begitu rapi itu.
Assalamualaikum Mas Azzarku, Suamiku tercinta.
Tak kusangka kau begitu indah memperlakukanku seperti ini Suamiku, tak kusangka cemas dan risauku menunggumu kau bayar dengan gambaran begitu menawan seperti ini. Tak kau anggapkah aku wahai Suamiku, ada aku di istanamu yang akan selalu mendukungmu dan menyayangimu.
Beginikah Suamiku Allah memintaku tuk berjalan ke arah berlawanan dengan dirimu, jika itulah takdirku maka akan aku jalani. Tersenyumlah Suamiku, bahagialah karena aku akan senantiasa ada untukmu meskipun kita tak bersatu kembali. Aku sakit Suamiku, aku begitu sakit dan kecewa, maafkanlah diriku ini karena kepercayaanku padamu telah habis begitu saja. Selamat tinggal Suamiku, aku pergi. Ku doakan yang terbaik untukmu selalu.
Dan Dijah sungguh minta maaf, jika selama Dijah menjadi Istri Mas Dijah melakukan kesalahan yang membuat Mas Azzar kecewa dengan Dijah. Selama ini Dijah sudah melakukan yang terbaik untuk menjadi seorang Istri yang terbaik bagi Mas Azzar, tetapi Mas Azzar sepertinya tidak berpikiran Dijah sudah melakukannya dengan baik. Sekali lagi, maafkan Istrimu ini Mas.
Dari Istrimu
Khadijah
"Tidak, tidak, TIDAAKK. Ya Allah."
Setelah membaca surat dari Dijah, dirinya langsung mengemudikan mobilnya tak tentu arah untuk mencari Dijah. Pikirannya kacau, separuh jiwanya telah pergi. Dirinya mulai berpikir apakah dirinya bukan jodoh Dijah sehingga Allah tidak mau Dijah terus disakiti oleh orang yang bukan siapa-siapanya.
TIDAK, Azzar berpikir tak boleh ada yang memiliki Dijah kecuali hanya dirinya. Dijah adalah belahan jiwa tak terganti yang diciptakan untuk dirinya. Setidaknya itulah yang berada di pikiran Azzar.
Sepanjang perjalanan Azzar selalu meneteskan air matanya ketika melihat rentetan tulisan tangan rapi milik Dijah yang menggambarkan begitu sakitnya Dijah saat ini.
"Sayang, kembalillah. Akan aku jelaskan semuannya, tolong Sayang. Aku tak bisa bila tanpamu." Lirih Azzar dengan tangan mencengkeram setir dan cincin milik Dijah yang menjadi mahar pernikahannya yang ditinggalkan Dijah bersama suratnya.
Tangan kekarnya mulai memukul setir mobilnya kuat, guna melampiaskan segala amarah dan rasa kecewanya karena perbuatan dirinya sendiri. Dengan kasar, dirinya mulai menyandarkan badannya di sandaran mobil sambil tangannya memijit pangkal hidungnya. Tanpa sadar, Azzar mulai meneteskan air matanya yang terlihat jelas dari sudut matanya yang mulai basah akan air mata begitu pun dengan pipinya.
"Ya Allah, Dijah." Suara Azzar benar-benar seperti seseorang yang sudah kehilangan arahnya dan hanya helaan putus aja yang begitu tersirat di dalam suara laki-laki itu.
Flashback off
Bismillah
Semoga suka ya☺
Mellow ngak?😔
Kalau masih ngak, nanti tak buat lagi atau cukup sakitnya😄
Satu kata buat
Azzar ?
Dijah?
Wanita noname ?
Gadis cilik noname?
Jangan lupa vote and comment👍
☺☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Mudaku [End]
Romance{Part masih lengkap} *Tahap Revisi* Ketika Cinta Tak Memandang Tempat Berlabuh