Janji?

9.1K 570 11
                                    



Happy Reading

Setiap perjalanan pasti akan datang lika-liku yang senantiasa menyertainya, seperti halnya rumah tangga yang merupakan perjalanan seumur hidup dengan pasangan halal yang telah dipilih oleh sang maha kuasa untuk dijadikan sebagai pendamping hidup yang siap menanggung kesedihan dan kebahagiaan bersama.

Begitu pun dengan rumah tangga pasutri muda yang baru menapaki bahtera rumah tangganya, perdebatan juga perselisihan layaknya sebuah bumbu yang menjadi pelengkap cinta dan kasih mereka. Terlebih Dijah yang sangat dewasa ketika menghadapi setiap permasalahan yang tidak pernah melibatkan amarah di dalamnya karena dirinya sepertinya diciptakkan untuk meredam amarah bukan pencipta amarah.

Hari ini tepat pukul sepuluh malam, Dijah tengah menunggu sang Suami dari kantor yang merupakan perusahaan amanat dari sang Ibu mertua untuk Suaminya. Padahal Azzar sudah menolaknya karena dirinya ingin mengembangkan usahanya sendiri, namun Ibu mertuanya masih kekeh untuk menjadikan Azzar sebagai penerus perusahaan karena mengingat Azzar yang masih harus melanjutkan kuliahnya dan di satu sisi ia harus menghidupi keluarga kecilnya. Jadi, Ibu mertuanya berkeinginan agar Azzar meneruskan usaha ibunya terlebih dahulu selama ia kuliah dan baru memulai usaha barunya ketika dia siap menjalankan bisnis setelah kuliahnya selesai.

"Kenapa Mas Azzar belum pulang-pulang juga? Ya Allah semoga engkau jaga Suami hamba dari bahaya di luar sana. Aamiin." Monolog Dijah dengan perasaan khawatir yang kini tengah mendominasi relung hatinya.

Jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam, namun Suaminya belum ada tanda-tanda untuk pulang. Dijah yang sudah lelah dan letih hanya bisa berharap Suaminya cepat pulang ke rumah dengan selamat. Dirinya yang sedari tadi berjalan ke sana kemari di ruang tamu langsung mendudukkan tubuhnya, karena merasa pinggangnya yang sudah pegal. Dengan perlahan, Dijah menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa untuk seidkit meringankan pegal di tubuhnya, sambil tangannya mengelus lembut perut buncitnya.

-

-

-

-

-

Dijah kini tiba-tiba berada di seberang jalan besar dengan pemandangan pertama yang ia lihat adalah siluet laki-laki yang sepertinya ia begitu mengenalnya. Namun, laki-laki tersebut bersama seorang perempuan berambut panjang dan seorang gadis kecil yang berada di gendongannya yang terlihat seperti keluarga kecil yang begitu harmonis.

Entah mengapa air mata Dijah luruh begitu saja dari mata teduhnya, pikirannya diliputi prasangka-prasangka yang dirinya takut untuk mengakuinya.

Namun, tak disangka laki-laki itu berjalan ke arah Dijah dan semakin mendekati tubuhnya. Tubuh Dijah menegang seketika begitu melihat siapa laki-laki yang menghampirinya dengan gadis kecil yang berada di gendongnya.

Air mata Dijah tak kuasa untuk ditahannya, perasaannya begitu perih dan menyesakkan. Dirinya ingin pergi dan berlari dari sini, tetapi kakinya seperti telah membeku di tempat dengan tatapan terpaku pada mata tajam yang tengah menatapnya.

Pada akhirnya Dijah hanya bisa menahan sakit yang begitu menyesakkan seperti sayatan kecil yang dibubuhkan berulang-ulang pada hatinya. Tangisannya berubah menjadi tangisan yang begitu menyakitkan untuk dilihat dan didengar dengan setiap butir tetesan air mata yang semakin deras mengalir di pelupuk mata sayunya. Dirinya hanya mampu memukul dadanya lemah karena sakit yang tak kunjung reda.

Laki-laki di depannya hanya diam tanpa senyuman terpatri di wajahnya, tanpa tatapan lembut yang biasanya hadir di kedua mata tajamnya dan kini yang ada hanya tatapan yang  terkesan datar dan begitu dingin.

"Ke-kenapa, hiks..Aaaaaa." Lengkingan lirih bahkan terkesan seperti bisikan terucap oleh mulut mungil milik Dijah.



Tiba-tiba Dijah tersentak bangun dan duduk dengan kedua matanya telah meneteskan buliran-buliran air mata.

"Ya Allah, astaggfirullahaladzim. Mengapa perasaan Dijah tidak enak seperti ini." Lirih Dijah sembari melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tetapi dirinya masih berada di ruang tamu dan tak mendapati Suaminya sudah pulang.

"Kamu kemana, Mas? Apakah sangat sulit untuk mengabari sebentar saja." Lirih Dijah sambil mengusap perut buncitnya dengan air mata berjatuhan, dirinya sungguh bingung dan khawatir. Kenapa Suaminya masih belum datang hingga pagi menjelang? Dirinya sudah lelah dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, kaena berulang kali ia menghubungi nomor sang Suami tapi tidak ada jawaban yang ia dapatkan.

Pikiran negatif mulai menghantui Dijah, tetapi dirinya selalu berusaha berpikir positif agar prasangka buruk tak menjadi kenyataan pada akhirnya.

"Mas Azzar sekarang ini selalu sibuk, apakah ada masalah di kantornya atau...astaghfirullah. Bantu bunda ya Nak, kamu adalah sesuatu yang berharga bagi Bunda. Terus semangati Bunda di dalam sana ya anakku. Bunda sangat sayang dengan kamu." Ucap Dijah lembut sembari merapalkan surah Al-Maryam dan Surah Yusuf dengan tangan mungilnya mengelus lembut anaknya yang berada di dalam perutnya.

Ia hanya berharap keselamatan bagi sang Suami yang kini belum jelas keberadaannya, Dijah berusaha sekuat tenaga agar dirinya tidak terlalu stres memikirkan sang Suami karena bisa berimbas pada kandungannya. Dirinya berusaha tenang dan selalu merapalkan doa serta dzikir agar pikiran dan hatinya tenang, meskipun perasaan khawatir itu berulang kali menghantui dirinya.

Akhirnya, setelah cukup lama duduk di ruang tamu untuk menenangkan pikirannya Dijah memutsukan untuk pindah ke kamar miliknya dan sang Suami. Saat ini, dirinya hanya butuh Allah sebagai tempat mengadu atas segala kegundahan dalam hati dan pikirannya.

-

-

-

-

Keesokan paginya, Dijah harus menelan kekecewaannya ketika dirinya masih tidak menemukan keberadaan sang Suami di rumah. Dijah mencoba berpikir positif, mungkin saja sang Suami harus menangani persoalan penting di kantor hingga membuatnya harus menginap di sana. Mungkin hari ini Suaminya akan datang dan dirinya ingin menyiapkan makanan terbiak untuk Suaminya nikmati nanti.

Dijah pun berjalan menuju dapur untuk menyiapkan masakan terbaik yang akan ia hidangkan ketika Suaminya pulang nanti, karena inilah bentuk usahanya agar ia tidak terlalu dirundung dengan banyak prasangka negatif yang selalu hadir di dalam benaknya.

Bisa dibilang sebagai bentuk pengalihan pikiran, karena memang tidak baik jika selalu terlarut dalam prasangka buruk.

"Sayang, kita masak apa ya buat Abi nanti?" Dengan lembut, tangan mungil Dijah mengelus perutnya yang membuncit itu yang dibalas tendangan pelan oleh sang buah hati yang membuat senyum kecil terbit di bibir Dijah di sela kegiatannya yang tengah melihat bahan masakan yang rencananya akan ia gunakan hari ini. 

Hanya anakknya kini yang menjadi penguat dan penyemangat ditengah kegalauan yang melanda hati Dijah kini.



















Bismillah

Semoga suka ya☺☺☺

Alhamdulillah udah ana kasih bibit-bibit yang agak menyedihkan nih sesuai request temen temen readers😄☺☺

Jadi, untuk kelanjutan yang boooooomnya tunggu next part ya.👍😃😉

Oh iya, mau konflik yang Wow banget atau ringan nih😁😊

Ana tunggu komentar kalian, karena jalan cerita ana juga dipengaruhi oleh komentar kalian lo👍😃😃😃☺😄

Jangan lupa vote and comment☺👍

Happy Fasting Ramadhan👍

Read the Qur'an is number one
Okyu👍👍👍☺

Imam Mudaku [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang