Happy Reading
Mereka pun memasuki ruangan itu bersama, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah Syifa yang tengah terbaring lemah di atas ranjang dengan selang infus yang berada di sampingnya.
"Mama."
"Aku bawakan pesanan Mama nih." Ucap Azzar dengan nada datarnya, sembari menyuruh Dijah mendekati Mama-nya itu.
"Ya Allah Bu, apa yang terjadi? Mengapa Ibu bisa seperti ini?" Ujar Dijah, yang raut wajahnya langsung menunjukkan kekhawatiran dengan keadaan Syifa yang nampak lemah ketika sudah duduk di tepi ranjang yang berada dekat dengan Syifa.
Memang Syifa meminta untuk di rawat di rumahnya daripada di rumah sakit, meskipun dokter menganjurkan agar Syifa di rawat dulu di rumah sakit agar dokter dapat memperhatikan keadaannya lebih intens lagi. Tetapi keinginan Syifa yang begitu kuat agar dirinya di rawat di rumahnya saja, bahkan dirinya sampai menangis karena masih trauma dengan yang namanya rumah sakit. Maka pada akhirnya daripada membuat Syifa stres dan tertekan, dokter pun memutuskan bahwa Syifa boleh di rawat di rumah dengan tetap berada dalam pengawasan dokter.
Dan setelah pulang ke rumah, Syifa pun langsung meminta Azzar untuk menjemput Dijah. Dirinya ingin membicarakan sesuatu yang penting kepada Dijah. Karena paksaan sekaligus permintaan Mama-nya, akhirnya Azzar pun mau untuk menjemput Dijah.
"Ibu ngak papa kok, Nak. Paling cuma kelelahan aja." Sahut Syifa sembari mengelus tangan Dijah dengan lembut, Dijah pun dengan erat menggenggam tangan Syifa yang menurut Dijah begitu dingin itu.
"Saya kan sudah bilang ke Ibu, kalau jangan sampai kelelahan. Ibu harus sehat lagi ya, saya sedih kalau Ibu sakit seperti ini." Kata Dijah lembut yang tanpa sadar air matanya pun ikut keluar membasahi kedua pipi chubby-nya. Dijah memang sangat mudah tersentuh, terlebih jika berkaitan dengan orang tua. Ia memikirkan dan membayangkan Syifa seperti Ibu-nya sendiri saat ini.
"Kan kasihan tubuh Ibu...hiks...Ibu harus jaga kondisi. Hiks...supaya tidak sakit seperti ini...hiks...huhuhu..Ibu juga harus memikirkan Azzar, yang selalu ada untuk Ibu..hiks." Ucap Dijah yang diiringi dengan isak tangisnya dan itu malah membuat Syifa tidak bisa menahan kekehan gelinya ketika melihat tingkah laku Dijah.
"Ya Allah, Dijah. Ibu ngak papa kok, kamu lucu banget sampe nangis gini. Itu lihat hidung kamu sampai merah gitu, udah atuh berhenti nangisnya Nak. Hahaha." Ujar Syifa sambil menghapus air mata Dijah.
"Hiks..hiks...tapi aku kasihan sama Ibu yang seperti ini...hiks...hiks...huhuhu." Balas Dijah yang malah semakin sesenggukan.
"Loh, kok tambah nangis. Udah sayang, Ibu ngak papa kok Dijah manis. Kamu ngak malu tuh sama Azzar, masa kamu nangis gini." Kata Syifa yang masih diselingi oleh kekehan gelinya.
Azzar yang melihat hal itu pun ikut terkekeh sekaligus heran. Terkekeh karena melihat kelakuan Dijah yang menangis seperti remaja yang baru putus cinta, dan heran Mama-nya bisa begitu dekat dengan Dijah yang bisa dibilang baru bertemu itu.
"Dijah sayang, Ibu ingin menyampaikan sesuatu kepada Dijah. Tapi Dijah jangan marah ya." Ujar Syifa lembut sambil mengusap lembut tangan mungil Dijah.
"Hiks...Dijah ngak akan marah kok Bu...hiks...soalnya...hiks... Dijah itu ngak bisa...hiks...yang namanya marah...hiks. Selalu kaya gini...hiks...aku juga bingung...hiks...kalau aku marah...hiks...semua orang malah menganggapku...hiks...sedang bicara biasa saja...hiks." Jawaban polos Dijah seketika membuat Syifa semakin terkekeh geli dibuatnya, bahkan Azzar pun sudah tidak bisa membendung tawanya lagi.
"Sumpah polos banget tuh cewek, unik dan lemah lembut. Aku suka, eh? What?" Ucap batin Azzar yang melihat kelakuan polos Dijah itu.
"Hahaha, iya Sayang. Begini, Ibu kan sudah tidak muda lagi. Apalagi Ibu juga sering sakit-sakitan, tapi Ibu cuma tinggal sama Azzar dan satu pembantu juga sopir yang semuanya bakal melakukan aktivitasnya masing-masing dan ngak selamanya selalu merhatiin Ibu kan. Nah, Dijah sayang. Ibu mau kamu tinggal disini dengan Ibu ya, biar Ibu ngak kesepian lagi di rumah sebesar ini. Gimana Sayang? Kamu mau ngak?" Perkataan yang baru saja keluar dari mulut Syifa, sontak membuat Dijah terkejut seketika.
"Tapi Bu, saya tidak enak kalau harus tinggal disini. Saya orangnya tidak nyamanan, apalagi disini ada Azzar yang notabene adalah laki-laki yang bukan mahram saya. Saya takut akan timbul fitnah Bu nantinya dan memunculkan asumsi yang negatif di masyarakat." Balas Dijah dengan nada lirih, seraya menundukkan kepalanya dalam.
"Maka dari itu Sayang, Ibu mau kamu menikah dengan Azzar." Ujar Syifa yang membuat Dijah terbelalak tak percaya.
"Me-menikah, Bu." Kata Dijah yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, seraya melihat ke arah Azzar yang menatapnya dingin tanpa berniat membantah sedikitpun seolah dirinya sudah tahu lebih dulu.
"Ba-bagaimana mungkin saya menikah dengan Azzar, Bu? Say-saya bahkan belum terlalu mengenalnya dan dia kan murid saya Bu." Ujar Dijah lembut sembari memegang erat tangan Syifa, dan seolah mengatakan bahwa keinginan Syifa kali ini terlalu jauh untuknya.
"Bahkan bayangan tentang pernikahan saja masih terkesan abu-abu untukku, lalu sekarang diriku malah disuruh untuk menikah dengan anak muridku sendiri? Ya Allah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Ibuku ketika mendengar anaknya menikah dengan anak muridnya sendiri. Bahkan aku mengenal Azzar belum sampai satu tahun lamanya, tetapi Bu Syifa menyuruhku untuk memasuki hubungan se-sakral pernikahan. Azzar yang sempat membuatku kecewa, tersinggung, dan tidak nyaman tapi sekarang malah dia menjadi laki-laki pertama yang diajukan oleh Bu Syifa untuk menikah denganku." Batin Dijah.
Tak pernah terlintas dalam benak Dijah, dirinya bisa menikah dengan seseorang yang lebih muda darinya. Karena jujur saja, impian Dijah adalah bisa menikah dengan laki-laki yang paling tidak satu tahun lebih tua darinya atau minimal seumuran. Tetapi, menikah dengan orang yang lebih muda darinya sedikit membuat pikiran dan perasaan Dijah tidak nyaman di buatnya.
Impian Dijah selama ini adalah salah satunya dapat menikah dengan seseorang yang bisa membimbingnya ke arah yang lebih baik lagi, dan memang dalam benak Dijah yang terpikirkan adalah seseorang yang mampu membimbingnya itu sosok suami yang lebih tua darinya. Tetapi memang hal itu tidak bisa menjadi indikator penentu, namun masalahnya Dijah tidak pernah membayangkan bila harus menikah dengan anak muridnya sendiri. Dijah memikirkan tanggapan masyarakat dan masa depan Azzar tentu saja, belum lagi tanggapan teman dan para guru di sekolah ketika mengetahui ada guru perempuan yang menikahi anak didiknya sendiri. Mungkin Dijah terlalu overthinking, tetapi pikiran itu tidak bisa Dijah lepaskan begitu saja bukan.
Pernikahan bukanlah persoalan hubungan satu atau dua hari, tetapi persoalan selamanya. Bahkan ketika di akhirat nanti, suami istri pun masih harus mempertanggung jawabkan terkait perbuatannya selama menjalani hubungan di dalam bahtera yang namanya pernikahan. Tentu saja perlu adanya pemikiran yang matang, sebelum melangkah lebih jauh untuk memasuki kehidupan pernikahan itu sendiri.
Bismillah
Semoga Suka...☺☺
Jangan lupa vote and comment...
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Mudaku [End]
Romance{Part masih lengkap} *Tahap Revisi* Ketika Cinta Tak Memandang Tempat Berlabuh