7

631 120 0
                                    

***

Jiyong memulai episode pertamanya, podcast tanpa wajah. G Dragon's Podcast, nama acaranya. Hari ini ia memperkenalkan acara itu kemudian mulai membicarakan tema yang telah ia siapkan sebelumnya. Episode perdana yang di siarkan secara langsung itu, membuat beberapa pendengarnya bisa menulis komentar mereka secara langsung. Sembari bicara, Jiyong membaca komentar-komentar itu.

Mereka punya banyak pendengar, sebab acaranya berlangsung di jam pulang kerja. Orang-orang yang tengah bosan mengemudi bisa mendengarkan podcast itu sembari menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Jiyong sudah memutar beberapa lagu yang ia pilih siang tadi, acaranya sudah berlangsung setengah jalan.

"What ever you need let me know, for you I'm on call twenty four. Yeah, I'm good for you. I'm your sun that'll shine, through the rain. And I'll be your coffee, that gets you through your day, yeah. Let me know if you need me now, and I'll be right there, don't you worry, no..." nyanyi Jiyong setelah lagu berjudul Good For You dari Eric Nam selesai di putar, ini adalah lagu pilihan Lisa.

"Ini adalah lagu yang seorang temanku dengarkan saat ia tengah bersedih. Katanya, ia pernah punya seseorang yang selalu menyanyikan lagu itu untuknya saat ia bersedih. Aku sudah meminta izinnya sebelum menceritakan ini, dan dia mengizinkan. Dulu, temanku ini punya seorang kekasih, seseorang yang bisa ia hubungi kapan pun, orang yang selalu ada dua puluh empat jam sehari. Setiap kali sedih, kekasihnya selalu menyanyikan lagu tadi, Good For You, dari Eric Nam. Hubungan mereka adalah hubungan jarak jauh, dari New York ke California. Hampir lima jam dengan mobil pribadi bahkan delapan jam dengan kereta. Setiap kali temanku ini sedih, kekasihnya akan mengemudi dari California ke New York," Jiyong berhenti, untuk memberi jeda para pendengar memahami ceritanya.

"Romantis kan? Ceritanya juga membuatku iri. Aku juga ingin punya seorang kekasih yang mau melakukan itu untukku, tapi ternyata... temanku ini bukan satu-satunya orang yang beruntung, kekasihnya itu juga beruntung, karena temanku juga akan mengemudi dari New York ke California kalau kekasihnya sedih. Aku ingin sekali kekasihku melakukan banyak hal untukku, aku ingin dia mengunjungiku, aku ingin dia ada di sisiku, aku merindukannya dan aku ingin bertemu dengannya, tapi aku tidak pernah melakukan hal yang sama padanya. Aku tidak pernah berusaha menemuinya, aku tidak pernah berusaha selalu ada di sisinya, jadi kami putus, karena aku menginginkan apa yang tidak bisa ku berikan padanya. Berkat ceritanya, aku tahu dimana kekuranganku, karena sebelumnya, aku menganggap hubunganku sebagai game tanpa kelebihan atau kekurangan," oceh Jiyong, dengan tenang, lembut seperti bagaimana Eric menyanyikan Good For You tadi.

Selanjutnya Jiyong membacakan beberapa komentar– itu hanya empat jam dengan mobil, itu tidak seberapa– tulis seorang pendengar di kolom komentar yang Jiyong baca. "Ya, itu hanya empat jam. Tapi jam berapa kita biasanya merasa sedih? Jam dua malam? Atau tiga pagi? Tapi jam berapapun itu, jauh atau dekat, menunda kegiatanmu untuk seseorang bukanlah hal yang mudah, iya kan? Saat aku sedang bekerja, bahkan untuk menjawab sebuah panggilan saja membuatku merasa terbebani. Rumahku dan kekasihku, hanya berjarak sepuluh menit. Tapi, kalau dia menelepon di pukul tiga pagi, saat aku sedang tidur, atau sekedar berbaring di ranjangku, rasanya berat sekali untuk keluar dan menemuinya. Aku lebih sering menyuruhnya untuk menunggu sampai pagi, daripada bangun dan datang ke rumahnya," jawab Jiyong menanggapi komentar tadi.

"Aku tidak bilang kalau menyuruh kekasihku menunggu sampai pagi dan baru menemuinya adalah contoh yang buruk. Maksudku, itu dan tiga pagi. Kita harusnya beristirahat di jam-jam itu. Kita lelah dan ada di posisi tidak bisa melakukan sesuatu setelah hari yang panjang. Tidak berlebihan kalau kita menolak bertemu dan menunggu sampai pagi. Itu sangat wajar. Tapi, ada orang-orang yang rela bangun jam tiga pagi, mengemudi dan pergi menemui kekasihnya. Tidak ada salahnya memberi mereka apresiasi, walaupun kita tidak perlu mengikutinya. Yang ingin kutekankan dalam kisah temanku tadi, kau bisa mendapatkan sebuah perlakukan yang kau inginkan, kalau kau juga mau melakukannya untuk orang lain," tuturnya yang kemudian berganti ke lagu selanjutnya.

Masih dari Eric Nam, masih juga lagu pilihan Lisa, kali ini judul lagunya adalah Stop The Rain. Sama seperti lagu-lagu sebelumnya, Jiyong menyanyikan satu bagian yang paling disukainya– "It was hard, wasn't it? Menghadapinya sendirian. It's hard, baby. Mengatakan kalau aku memahamimu, atau mencoba menghiburmu, tidak membuatmu jadi bahagia. It's raining again. Tears fall, you can't see anything. Jadi tutup matamu dan genggam tanganku, aku tidak akan melepaskanmu," lantun Jiyong mengikuti bagaimana penyanyi aslinya bernyanyi. "Ini adalah lagu terakhir kita. Aku mungkin tidak bisa menghiburmu, aku tidak tahu apa yang sebenarnya kau rasakan, tapi genggam tanganku, aku tidak akan melepaskanmu," ucap Jiyong mengakhiri acaranya malam ini.

Di tempat masing-masing, Lisa, Eric, Seunghyun juga Jennie menghela nafasnya. Lisa yang tengah duduk di taksi, menuju rumah Seunghyun, menghela nafasnya sembari berkomentar– "banyak sekali MSG-nya," gumamnya. Eric yang ada dalam perjalanan menuju studio rekamannya, juga menghela nafasnya– "itu bukan lagu yang selalu ku nyanyikan untuknya, itu lagu yang aku buat untuknya," gumam Eric sangat pelan, hampir selaras dengan suara deru nafasnya.

Jennie, di dalam toko pakaiannya pun menghela nafasnya. "Bagaimana caranya menghadapi ini sendirian? Siapa yang bisa ku genggam, oppa?" tuturnya, mengeluh namun tetap mendengarkan lagu yang Jiyong putar sampai selesai.

Di rumah, sembari memperhatikan Nagyeom yang sedang mewarnai, Seunghyun pun menghela nafasnya. Membuat sang putri mengangkat kepalanya– "kenapa appa menghela nafas keras sekali? Appa sakit?" tanya si polos Nagyeom, mengulas sebuah senyum tipis di wajah Seunghyun.

"Tidak, aku tidak sakit," geleng Seunghyun. "Seperti yang paman Jiyong katakan tadi, aku juga ingin jadi baik untuk seseorang. Apa menurutmu, aku bisa melakukannya?"

"Kenapa tidak bisa? Appa hanya perlu jadi baik, apa itu sulit?" polos Nagyeom sekali lagi, yang sekali lagi juga membuat Seunghyun mengulas senyumnya. Mungkin, menjadi baik memang mudah, seperti yang Nagyeom katakan.

Tidak lama berselang setelah helaan lelah tadi, setelah angan yang entah kapan akan direalisasikan, kenyataan kembali datang. Lisa menekan bel pintu rumah Seunghyun, rumahnya ada di lingkungan yang sama dengan rumah orangtua Jiyong, model rumahnya pun hampir sama, ada kursi di taman juga sebuah ayunan kayu. Tapi saat melihat ayunan kayunya tadi, Lisa langsung mengenalinya– Jennie pernah berfoto di sana dan mengirimkan foto itu padanya.

"Aku kira bibi Jennie yang datang," komentar Nagyeom, yang ikut bersama ayahnya membukakan pintu untuk Lisa.

"Wah... Maaf cantik, hari ini bibi Lisa yang berkunjung," komentar Lisa sembari mengulurkan tangannya, memberikan sebuah tas belanja dari kertas yang punya dua kotak cokelat di dalamnya.

"Terimakasih, tapi tidak ada kacang di dalam cokelatnya kan?" tanya Seunghyun sembari mempersilahkan Lisa untuk masuk ke dalam rumahnya yang bersih, sangat rapi seolah tidak ada anak kecil yang tinggal di sana. "Nagyeom alergi kacang," susulnya dan Lisa menganggukan kepalanya, Stephanie juga alergi kacang.

Setelah berbasa-basi, Lisa mulai bekerja. Awalnya dadanya sesak karena ia bisa melihat Nagyeom bermain di depannya. Kalau Stephanie bisa memihat Nagyeom sekarang, akan kah ia senang? Akan kah ia sembuh dan mendapatkan kembali sebagian ingatan atau kemampuan otaknya? Lisa memulai pekerjaannya dengan tebak-tebakan menyakitkan itu.

Nagyeom, terlihat persis seperti Stephanie saat kecil. Daripada bercengkrama dengan keramaian, ia lebih suka menyendiri, ia lebih suka berada dalam dunianya sendiri, tersenyum dan membayangkan berbagai hal dalam kepala kecilnya. "Nagyeom, sangat berlawanan denganku saat kecil," komentar Lisa di saat Nagyeom hanya duduk dan mewarnai di ujung sofa. "Aku punya seorang kakak perempuan. Usia kami hanya terpaut dua tahun. Saat kecil, kakakku akan duduk di sudut, mewarnai seperti Nagyeom, sedangkan aku berlarian mengejar bola, menyenggol meja, menjatuhkan vas bunga ibuku lalu di marahi. Lalisa! Tidak bisakah kau bermain dengan tenang seperti Stephanie?! Selalu itu yang ibuku katakan setiap kali marah."

"Tapi sekarang kau terlihat sangat tenang," komentar Seunghyun menanggapi cerita itu. Pria itu baru saja menyajikan dua cangkir kopi untuk mereka, sedangkan untuk Nagyeom ia menyiapkan segelas susu cokelat hangat.

"Oh ya? Mungkin aku sudah terdoktrin oleh omelan ibuku? Jadi tenang seperti Stephanie," ucap Lisa dengan hati yang sedikit nyeri– sebab, sementara ia jadi tenang semakin bertambah usianya, Stephanie justru jadi semakin kekanakan setiap kali usianya bertambah.

***

Sparkling SocietyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang