5

631 127 2
                                    

***

Pukul enam lebih tiga puluh menit, Lisa berdiri di depan sebuah rumah. Rumah dua lantai dengan halaman yang cukup luas. Rumah yang bahkan dari luar sudah terlihat cukup mewah. Lisa yakin kalau rumah itu bukan restoran. Mungkinkah itu rumah Jiyong? Pria itu mengajak Lisa ke rumahnya? Hanya untuk makan malam? Lisa jadi luar biasa percaya diri karenanya.

"Kita makan malam di sini?" tanya Lisa, sementara taksi di belakang mereka– yang tadi mereka naiki– melaju menjauh.

"Kau bilang ingin makan sup rumput laut. Hari ini, hari ulangtahun ayahku-"

"Ya? Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku tidak membawa hadiah. Kau bisa mentraktirku kapan-kapan tidak harus hari ini," canggung Lisa, yang mungkin akan dapat kesan buruk di depan keluarga Jiyong. Apakah begini cara Jiyong menolak seorang wanita? Harusnya, Lisa menanyakan pria itu pada Jennie tadi.

"Tidak perlu hadiah," jawab Jiyong. "Dia sudah dapat banyak sekali hadiah hari ini. Ayo masuk," ajak Jiyong, yang kemudian menekan bel rumahnya.

Pintu depan terbuka, lantas Jiyong mengajak Lisa melangkah memasuki halaman rumahnya. Kursi taman berwarna putih dengan ayunan kayu di halaman, terlihat familiar bagi Lisa. Namun gadis itu tidak merasa perlu menduga-duga, ada banyak sekali keluarga yang punya ayunan kayu di halaman rumahnya.

Saat pintu depan terbuka, Lisa langsung membulatkan matanya. Ada sosok wanita yang ia kenali di sana– nyonya Kim, ibu kandung Jennie. "Lalice?" sapa wanita itu, meyakinkan dirinya yang sama terkejutnya dengan Lisa. "Kau benar-benar Lalice? Bagaimana kau- kau dan Jiyong-"

"Kami rekan kerja, dia produser baru di perusahaanku," potong Jiyong, sebelum terjadi kesalahpahaman di sana. "Hari ini dia melakukan sesuatu yang luar biasa, jadi aku bilang, aku akan mentraktirnya. Saat ku tanya apa yang ingin dia makan, dia bilang dia ingin sup rumput laut, kebetulan sekali, kan? Jadi aku membawanya kesini, eomma."

"Whoa..." gumam Lisa, langsung memahami situasinya.

Mantan kekasih Jennie yang pada suatu malam berubah menjadi kakak tirinya, adalah Kwon Jiyong.

"Sudah berapa lama kau jadi kakak laki-laki mantan kekasihmu?" bisik Lisa, setelah ia selesai bertukar rindu dengan ibu Jennie. "Sepuluh tahun? Whoa... Harusnya waktu itu aku datang ke acara pernikahannya. Tapi aku sedang ujian," ucap gadis itu, mengingat Jennie– teman kuliahnya– yang harus mengulang beberapa mata kuliah karena membolos selama beberapa hari.

"Tapi aku tidak datang ke acara pernikahannya," jawab Jiyong. "Kau tidak akan bertemu denganku walaupun datang. Dua hari sebelum hari pernikahannya, aku kecelakaan dan dirawat di rumah sakit."

"Ah... Tapi Jennie tidak datang ke sini hari ini?" tanya Lisa, yang hanya duduk berdua dengan Jiyong di meja makan.

"Jennie sedang pergi dengan ayahnya, membeli hadiah. Mereka pasti lama, makan lah lebih dulu. Kau pasti lelah setelah pulang bekerja," sela nyonya Kim, yang dengan santai menyajikan dua mangkuk sup rumput laut untuk Lisa juga Jiyong. "Sudah berapa lama kau ada di sini, sayang? Kau harusnya menghubungiku, aku bisa menjemputmu di bandara," obrol nyonya Kim yang menjadikan makan malam itu penuh tawa.

Nyonya Kim memberitahu Jiyong, kalau ia mengenal Lisa dan keluarganya saat mengirim Jennie ke New York untuk kuliahnya. Meski Jennie satu tahun lebih tua dari Lisa, mereka pernah belajar di kampus yang sama. "Sekarang usiamu genap tiga puluh, apa kau akan menikah dalam waktu dekat ini? Karena itu kau kesini? Kau masih berkencan dengan Eric kan?" tanya nyonya Kim, sedang Jiyong hanya mendengarkan sembari tersenyum, menikmati pembicaraan di sana sembari menunggu adik tiri dan ayahnya pulang ke rumah.

"Melihat keadaan Stephanie sekarang, aku yakin keluargaku ingin aku segera menikah... Aku harus menikah, iya kan? Tapi aku sudah putus dengan Eric. Lima tahun? Kurasa sudah selama itu aku single... Apa tidak ada pria yang bisa bibi kenalkan padaku?"

"Bagaimana dengan putraku? Dia seumuran dengan Eric."

"Aku?" celetuk Jiyong yang tiba-tiba disinggung dalam pembicaraan itu, padahal sejak tadi mereka hanya membicarakan Jennie juga Lisa dan masa remaja bahagia mereka.

"Memangnya aku punya putra yang lain? Kau punya saudara kembar yang tidak aku ketahui?" balas nyonya Kim. "Setelah putus tahun lalu, kau single kan?"

Jiyong terkekeh mendengarnya. Ia tidak mengiyakan maupun menyanggah ucapan ibu tirinya itu dan untungnya Jennie kembali setelah mendapatkan delapan tas belanja untuk ayah tirinya. Mereka berbelanja, juga menghabiskan waktu berdua hampir semalaman. Sekali lagi Lisa dan Jiyong harus makan malam, karena sekarang pesta ulangtahun kecil itu di mulai. Meski tanpa semangkuk nasi, Lisa dipaksa mencicipi beberapa masakan lainnya. Ia juga diminta menghabiskan sepotong kue dan terakhir, ia harus menyesap secangkir kopi bersama Jennie di halaman.

"Kau datang dengan oppaku, kau akan pulang bersamanya, 'kan?"

"Untuk apa? Aku pulang bersamamu saja. Untuk apa dia mengantarku pulang lalu kembali kesini? Buang-buang waktu."

"Dia tidak tinggal di sini, dia pasti akan pulang ke rumahnya sendiri," geleng Jennie. "Aku bisa menginap di sini, khusus demi membuatmu bisa pulang dengannya. Bagaimana? Aku baik kan?"

"Kalau begitu... Buat dia mabuk lalu mengajakku ke hotel sekalian, bagaimana? Akan aku belikan sepasang sepatu kalau kau mau melakukannya," bujuk Lisa, membuat Jennie langsung mendelik, mengatai Lisa gadis nakal yang tidak bermoral dalam sebuah bisikan rendah kemudian mengundang tawa gadis yang duduk di sebelahnya itu. "Ada apa denganmu? Kau tidak berani mengumpat di rumahmu sendiri? Takut dimarahi?" balas Lisa, menggoda Jennie yang sedang berusaha menahan dirinya untuk tidak memaki Lisa seperti bagaimana mereka biasa berkomunikasi.

Pukul sebelas, sebelum tengah malam, Lisa akhirnya berpamitan. Ia akan pulang dengan Jiyong, seperti yang Jennie katakan tadi. Jennie mengizinkan Jiyong memakai mobilnya, dengan catatan besok pagi-pagi sekali mobil itu sudah harus kembali ke rumah agar Jennie bisa berangkat bekerja. Berkat warisan dari ayah kandungnya, Jennie punya sebuah gedung empat lantai di pusat kota. Wanita itu menyewakan tiga lantai di gedungnya untuk bisnis, sedang lantai pertamanya ia pakai untuk bekerja– menjual pakaian dan aksesoris-aksesorisnya.  Pakaian-pakaian itu Jennie sendiri yang membuatnya, akhir-akhir ini ia belajar merancang busana hingga tidak punya waktu untuk mengurus channel pribadinya.

"Terimakasih untuk makan malam dan tumpangannya," ucap Lisa setelah Jiyong menghentikan mobilnya di depan gedung apartemen Lisa. Itu bukan kali pertama Jiyong mengantar Lisa ke sana, saat pesta penyambutannya bulan lalu, Jiyong juga sudah pernah mengantar pulang.

"Sama-sama, terimakasih juga atas kerja kerasmu hari ini. Aku bisa merasakan kalau Alive Studios akan berkembang karena kehadiranmu. Masuk dan beristirahatlah, kita bertemu lagi besok," balas Jiyong, ia menunggu Lisa menghilang di balik pintu lift yang tertutup sebelum kembali melajukan mobil sedan putih adik tirinya itu kembali ke rumah. Daripada kembali ke rumah pagi-pagi sekali, Jiyong lebih suka mengembalikan mobilnya sekarang juga. Dengan begitu, ia tidak perlu bangun pagi-pagi sekali hanya untuk Jennie.

***

Sparkling SocietyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang